Oleh Mien A. Rifai
Budaya Madura mengenal adanya du’remmek dan kembhâng campor bhâbur yang dalam kaitannya dengan pemanfaatan bunga ikut menyumbangkan saham sampai menimbulkan pendapat bahwa bangsa kita bersifat aneh. Sebagai salah satu bentuk hiasan bunga dari Madura, dalam membuat du’ remmek maka daun mahkota bunga kenanganya dilubangi serta ditusuki melati sehingga tidak terlihat utuh lagi dan malahan terkesan rusak, sesuai dengan perkataan remmek yang artinya memang ‘rusak’.
Pada upacara pemandian pengantinnya seorang putri Madura sering mengenakan baju rompi yang terbuat dari melati, yang setiap kuntum bunganya dirusaj dengan menusuknusuknya agar bisa dirangkai dan dianyam sampai memata jala.
Perusakan kuntum bunga itu tidak hanya terjadi di Madura, sebab melati yang dipakai sebagai hiasan sanggul wanita Jawa pasti dirangkai atau dironce dengan ditusuktusukkan satu sama lainnya sehingga berubah bentuk sampai tersusun menjadi bermacam konfigurasi dengan dasar yang disebut bangun tulak, bawang sewungkul, dan entah apa lagi.
Jadi bentuk melati sebagai bunga yang indah lalu hilang sama sekali dan hanya kewangiannya yang tinggal. Di Pasundan hal serupa berlaku pula sebab di sana orang merangkainya menjadi bentukan yang disebut mangle.
Dari sini terlihat bahwa budaya kita tidak mengarahkan orang untuk menikmati kuntum-kuntum bunga yang utuh seperti dilakukan orang Barat. Bunga rampai misalnya, dibuat oleh orang Bali dengan mencampur tujuh jenis bunga yang dipereteli bagian-bagiannya. Untuk keperluan sesajian, orang Jawa menyediakan kembang setaman yang merupakan kumpulan bagian-bagian bunga yang dijumpai di halaman rumahnya, seperti halnya dengan kembang telon yang terdiri atas tiga jenis bunga pekarangan.
Di Madura pun orang mengenal kembhâng campor bhâbur sebagai campuran gading, mawar, kenanga, cempaka, melati dan culan yang unsur atau bagian-bagian bunganya dipereteli atau dipotong-potong untuk kemudian dicampur dengan irisan daun pandan. Selain untuk ditaburkan di tempat pelaminan, kembhâng campor bhâbur sangat populer untuk ditaburkan saat ziarah di pekuburan.
Dengan demikian dari dulu bangsa kita kelihatannya lebih menyukai untuk mendapatkan kepuasan dari bunga-bunga yang diubah bentuknya. Bunga rampai, kembang mayang, kembang telon, ronce, atau mangle serta bentuk-bentuk lain karangan bunga untuk pelbagai keperluan upacara itu telah dipersiapkan dengan menghilangkan sama sekali ciri masing-masing bunga yang dipakainya, dengan hasil yang dianggap indah karena mengandung makna yang sangat dalamnya.
Kita memang lebih mementingkan arti perlambangannya dalam menggunakan bunga untuk keperluan upacara yang diadatkan. Selama tujuan tercapai secara bermakna, kita tidak perlu memerhatikan unsur bunganya. Dengan demikian keputihan warna yang menunjukkan kesucian cinta dan kepasrahan penyerahan hati pemakai kalung atau hiasan gelung bunga tidak perlu diwujudkan dengan melati.
Kalau melati sedang tidak musim, bunga stefanot memang tersaksikan telah pula dipakai orang, karena memiliki bentuk dan warna yang mampu menyatakan makna susunan karangan bunga tersebut. Malahan di pedesaan Madura pernah diamati digunakannya bunga pepaya di tempat melati!
Dalam kakawin Nagarakretagama secara gamblang telah ditulis oleh Mpu Prapanca bahwa orang Majapahit di abad XIV sudah biasa menghias taman istana dan pelataran candi dengan tanaman nagasari, tepus, angsoka, melati, tanjung dan tanaman berbunga lain. Rupanya penanamannya tidak untuk dinikmati keindahan bunganya tetapi lebih ditujukan buat menghasilkan bunga guna dipakai dalam sesajian keagamaan, sehingga pasti dirusak seperti kembhâng campor bhâbur Madura.
Pendapat ini didasarkan pada praktik penanaman pohon seperti kemboja––tanaman pendatang dari Amerika Selatan yang berhasil menggeser nagasari yang berbunga agak mirip––di kawasan pekuburan di sekitar kita yang sekarang mungkin dilakukan untuk meneruskan pandangan, konsepsi, dan pemahaman akan maknanya yang serupa seperti dilakukan orang Majapahit tempo doeloe. Jadi penanamannya sebenarnya ditujukan untuk diambil bunganya yang putih besar dan menyebarkan aroma wangi seperti bunga nagasari.
Kegiatan berziarah ke kuburan sekarang umum dikatakan menyekar, yang artinya memberi bunga. Namun bunga-bunga yang ditaburkan di kuburan itu juga . . . dirusak!
Adanya kontak budaya dengan orang Barat, menyebabkan perubahan sikap bangsa Indonesia sehingga sekarang keindahan kuntum-kuntum bebungaan yang utuh telah disenangi pula oleh bangsa kita, seperti tersaksikan dari maraknya bisnis karangan bunga di perkotaan. Keindahan warna warni dan terutama juga kewangian bunga tentunya mendasari penyebab mengapa tempayan air siraman pengantin sekarang diisi dengan bunga rampai atau kembhâng campor bhâbur.
Pesona bunga juga yang menyebabkan adanya motif kembang tetumbuhan pada batik, diukirkannya bebungaan sebagai relief candi atau hiasan keris, dan dipakainya bunga dalam pepatah petitih, serta munculnya bunga dalam nyanyian dan tembang. Akan tetapi kalau dikaji lebih lanjut akan terlihat bahwa bunga-bunga tadi lebih dipentingkan landasan gagasannya dan bukan keseutuhannya.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa budaya menggunakan campuran bunga yang diracik sehingga berubah bentuk yang dari dulu dipraktikkan di Madura memang sudah berterima secara luas di kalangan masyarakat Indonesia.
*****
Tulisan bersambung:
- Sumbangan Budaya Madura Kepada Kebudayan Nasional
- Pengembangan Bahasa Madura dan Problematikanya
- Sekilas Falsafah Abhântal Ombâ’ Asapo’ Angèn
- Pembudidayaan Bhâlungka’ dan Tèkay Madura
- Tentang Kuliner: Ètèk sè Nyongkem
- Sèkep Pelambang Kejantanan Seorang Pria Madura
- Aroma Du’remmek dan Kembhâng Campor Bhâbur
- Pola dan Bentuk Rumah: Tanèyan Lanjhâng
- Ramuan Jhâmo Bagi Wanita Madhurâ
- Masa depan Madura Bergantung Pemuda Madura