Membumikan Kembali Tradisi Barzanji

“Nabi kaula paneka Nabi Muhammad.
Lahir dha’ dunnya abhakta agama Islam.
Ebuepon Siti Aminah, abaepon Sayyid Abdullah”

(dst)

Oleh: Syaf Anton Wr

Meski tidak disebut sebagai sastra barzanji, lantunan lagu pada syair diatas pernah populer pada dekade akhir 70-an, khususnya bagi anak-anak. Namun tampaknya perkembangan berikutnya telah digantikan posisinya dengan lagu yang lebih modern serta mengunakan alat-alat musik yang modern pula.

Meski tidak lahir dari kalangan pesantren, sastra lokal ini sempat menyentuh dan sebagai tahap awal pengenalan anak-anak pada nabi junjungannya.

Fenomena yang lain, ketika WR Rendra dengan seniman Muslim lainnya mengusung shalawat al-Barzanji di panggung teater; yang memboyong dan memadukan syair dan irama shalawat dengan drama modern, menciptakan genre baru terhadap bentuk sebuah tampilan barzanji. Tak kurang juga, Ehma Ainun Najib dengan “Kyai Kanjeng”nya, yang jelas-jelas tak lebih dari sebuah penyampaian kalimat-kalimat shalawat yang dikemas sedemikian rupa.

Nilai penting dan positif dari kesenian yang dikemas untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan sosial, juga akan melengkapi pesan-pesan spiritual bagi masyarakat. Pesan-pesan ini menjadi penting dan signifikan, terutama dengan melihat (dan untuk menyikapi) kondisi bangsa akhir-akhir ini. Sasaran utama dari pesan ini, tidak lain adalah ummat Islam umumnya, serta seluruh elemen bangsa dan rakyat Indonesia.
Ajakan kembali nilai-nilai moral-sosial, pada akhirnya secara tidak langsung juga mengajak keseluruhannya untuk mempertimbangkan pentingnya sentuhan dan nilai-nilai seni atau estetika.

Barzanji: Seni Satra Lokal?

Ada sementara pihak mengatakan bahwa kesenian adalah bagian dari tradisi hidup, dengan demikian, ia akan selalu berubah mengikuti perkembangan way of life kita. Di zaman modern dan post-modern, bila kita hendak membayangkan kembali kesenian sebagai bagian dari keniscayaan hidup itu, maka tak cukup hanya bila dihidupi oleh sikap romantis-utopis tentang kehidupan seni tradisi masa lalu yang sering dicitrakan unik, menarik, klasik, eksotik, indah, alamiah dan tak pernah berubah.

Mencermati perkembangan yang terjadi; apapun jenis, bentuk dan hakekatnya, proses kehidupan kesenian sekarang merupakan bagian yang tak terelakan dari sebuah kebutuhan, identik dengan sarana untuk merebut perhatian khalayak. Disini, peristiwa budaya bernuansa ritus-keagamaan pun tidak segan-segan lagi dikreasikan sedemikian rupa, agar mendapat tempat di hati masyarakat bukan saja sebagai hiburan, juga dibalik itu ada kebutuhan-kebutuhan lain, seperti media pembelajaran dan perenungan.

Setidaknya, setiap pengelola pertunjukan akan mencari kiat sekuat pikiran, menawarkan apa saja, segala kreasi seni yang dimilikinya supaya layak dinikmati publik. Bahkan, seni tradisi yang tadinya memiliki hakikat sebagai bagian dari sosio-aspirasi, penggerak kesadaran dan ajakan kontemplasi bagi masyarakat pendukungnya dan sebagai sarana dialogis dalam menata ketahanan budaya setempat, menjadi tandus oleh pemikiran yang ditekankan oleh budaya massa (kultur media).

Akibat lain yang kronis: seni tradisi tak mampu lagi menjadi penggugah kesadaran dan ajakan kepada publik pendukungnya, ketika posisi seni telah berubah arah dari hakekat ketahanan-budaya menjadi sekedar pengisi keterhiburan dan pemuas selera masyarakat. Padahal,seyogyanya ia mengemban tanggung jawab besar dan mulia: sebagai agen pewarta kebenaran, keindahan serta keluhuran budi dalam jangka panjang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.