*)Dr. Ach. Maimun Syamsuddin, M. Ag
Saya salah seorang warga Sumenep yang bersyukur, karena sejak Era Reformasi, Sumenep dipimpin oleh orang-orang yang berintegritas. Memang ada hal-hal yang kurang sebagaimana layaknya manusia, saya sepenuhnya memaklumi itu. Tapi setidaknya semuanya memperlihatkan perbedaan jelas dengan kepemimpinan sebelumnya.
Saya yakin, mereka adalah para pemimpin yang visioner. Bahwa tidak sepenuhnya visi itu bisa diwujudkan, itu adalah hal lain. Bahwa mereka juga tidak sepenuhnya memenuhi harapan semua warga, itu juga hal lain, bahkan jika Sumenep dipimpin seorang sehebat Soekarno, Hatta hingga Gus Dur. Bahkan, dipimpin seorang Nabi pun, tidak semua warga akan puas. Karena itu sangat manusiawi: ketidakpuasan dan keterbatasan.
Tentu saja ada banyak hal yang masih kurang, ada banyak harapan tidak terpenuhi, ada banyak kekecewaan belum terobati. Itu semua karena persoalan yang dihadapi begitu kompleks dan beragam. Semua telah diupayakan. Tentu saja ada yang tertinggal. Semua telah ada orang yang ditugas menangani. Tentu saja ada yang tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, bahkan ada yang tidak mau menjalankan tugasnya dengan baik.
Hal mendasar yang patut dikedepankan adalah pembangunan kepribadian sebagai ciri masyarakat berbudaya luhur. Selama ini, bukan saja pembangunan kepribadian cenderung terabaikan, tapi rupanya secara sistematis telah mengalami disorientasi.
Bukankah selama ini kita dijejali dengan keberhasilan pembangunan fisik? Bukankah selama ini kita diarahkan untuk mengukur segala capaian dengan ukuran fisik? Bukankah kita hanya bisa memamerkan keberhasilan fisik? Bahkan kita diajari dan diarahkan untuk melihat segala hal yang bersifat fisik? Kita semua telah diantar ke jalan yang benar untuk hanya hidup dengan segala hal yang bersifat fisik.
Rupanya kesadaran kita tentang manusia telah mengalami distorsi fatal dengan hanya memandang dimensi fisik. Secara sederhana, perlu kembali ditegaskan bahwa manusia terdiri dari fisik dan psikis, jasmani dan rohani. Yang perlu lebih ditegaskan lagi adalah bahwa yang membuat fisik kita hidup adalah rohani, jiwa.
Maka yang menggerakan seluruh tubuh adalah jiwa, yang mengarahkan segala prilaku manusia adalah pikirannya. Maka yang membuat manusia bisa merasakan kehidupan adalah kesadaran yang bersifat psikis. Bukankah makan terasa enak karena kesadaran?
Masalahnya, ada kecenderungan mengabaikan aspek psikis dengan mengarahkan semua hal pada aspek fisik. Kata Gus Mus, kita telah menjadi makhluk yang sangat memperhatikan “daging”. Baiklah, pembangunan fisik harus terus jalan. Tapi bukan itu saja. Perlu ada upaya sistematis untuk membangun kepribadian, kesadaran, integrasitas, moralitas, karakter dan jiwa masyarakat sebagai manusia.
Untuk kepentingan ini, pendidikan adalah ujung tombaknya, para pemimpin adalah figur panutan dan motornya. Semua unsur masyarakat dan birokrasi perlu dilibatkan untuk kepentingan ini sesuai dengan kapasitasnya.
Maka dengan demikian, pendidikan tidak boleh “hanya” berorientasi kelulusan, nilai angka, bangunan gedung, dana operasional, hingga pekerjaan lulusan. Pendidikan perlu secara serius menggarap aspek batin peserta didik sebagai manusia, bukan hanya dengan ceramah atau berbagai bentuk penyampaian verbal. Itu harus dilakukan dengan proses pembentukan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di sekolah.
Dengan itu, para pengelola lembaga pendidikan perlu menegaskan visinya untuk menjadikan pendidikan yang berorientasi kepribadian. Karena berbicara tentang budaya berarti berbicara tentang kepribadian, berbicara kepribadian berarti berbicara tentang cara berpikir sebagai dasar bertindak, dan itu semua ada di jiwa, bukan di fisik. Masihkah kita hanya bangga dengan tubuh sebagai seonggok daging dan benda-benda sebagai sesuatu yang mati?
Kepribadian yang ada dalam jiwa setiap orang adalah sumber cara berpikir dan bertindak. Justru inilah kunci sukses manusia dalam kehidupan. Tak ada yang bisa diharap dari tenaga terampil yang tidak punya semangat kerja, disiplin dan jujur. Dan itu adalah kepribadian yang tertanam dalam jiwa. Tanpa itu, keterampilan hanya akan merusak dengan prilaku korupnya.
Tak ada yang bisa diharap dari para pengelola instansi apapun yang hanya berbekal keterampilan menejemen tanpa integritas. Tak ada yang bisa diharap dari pengusaha yang memiliki ketarampilan mengembangkan usaha tanpa kepribadian terpuji. Tak ada artinya berbicara kebudayaan tanpa serius membangun kepribadian manusia.
Yang membuat kita semua miris, lembaga pendidikan sebagai ujung tombak mulai banyak yang tidak punya visi membangun kepribadian. Semua pihak bisa saling menyalahkan dalam hal ini. Dan memang mungkin sama-sama salah. Berbagai faktor saling terkait sehingga sulit menemukan ujung pangkalnya. (bersambung: Mendambakan Sumenep Berbudaya Luhur)