Di kota-kota tersebut, pihak Belanda mengadakan wervings commisie (komisi pengerahan tenaga kerja) guna menerima kembali bekas-bekas tentara Belanda (Barisan). Bagi yang masih ragu-ragu dan kurang yakin terhadap arti “Kemerdekaan” tentu dengan mudah menerima tawaran dari pihak Belanda itu.
Adapun maksud dan tujuan pihak Belanda dengan menduduki Madura, antara lain dapat disehutkan misalnya: Mencari tenaga ketentaraan, karena kekurangan untuk mengatasi keperluannya akan bezettings troepen (kekuatan territorial) untuk tugas menduduki daerahnya yang baru diduduki.
Belanda mempunyai pengalaman dan berpendapat bahwa orang-orang Madura adalah prajurit-prajurit yang tangguh untuk tujuan memperluas daerah kekuasannya. Yang terkenal dan merupakan noda hitam dalam sejarah militer Madura ialah kesatuan militer bentukan Belanda yang terdiri atas orang-orang Madura, yang terkenal sebagai ujung tombak Belanda yang kejam, adalah yang kita kenal dengan sebutan Pasukan Cakra.
Pada masa negara Madura, kita kenal pula sebuah Batalyon Tentara Negara Madura bentukan Belanda, yang di namakan Veiligheids Brigade atau V.B. Tetapi setelah era Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali, kedua unsur militer bentukan Belanda itu turut berjasa dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan kekuatan separatis yang ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, terutama dalam menumpas RMS Di Maluku.
Patroli tentara Belanda mengadakan aksinya dengan pasukan tank dan kendaraan lapis baja ke segala jurusan dengan tujuan mencari tentara kita serta Badan Kelasykaran Perjuangan, sekaligus mencoba menghubungi pemerintah sipil kita (Residen Madura).
Dalam kegiatan itu Belanda selalu mendapat hambatan yang tak terduga dari Tentara Rakyat itu, antara lain dapat disebutkan: Kompi Slamet Kamaludin dan Kompi Mudhar Amin ditugaskan untuk terus menerus mengadakan serangan hit and run, dan menghambat maksud-maksud Belanda.
Sebal iknya Badan-badan Kelasykaran Perjuangan mengadakan gangguan terus-menerus ke kota, yang berakibat banyak korhan penangkapan terhadap pihak kita sendiri, terutama pimpinannya yang terus ditahan di kota.
Pergantian Komandan di Sektor III
Pada tanggal 8 Agustus 1947, perintah dari Komandan Resimen 35/Territorial Madura, berupa serah terima Pimpinan Sektor III yang baru, Mayor Mangkudiningrat, mengingat keadaan kesehatan Mayor Sulaiman yang tidak mengizinkan.
Perintah selanjutnya adalah agar menyiapkan pasukan yang terdiri dan Kompi Infanteri, Kompi Mortir, Badan-badan Kelasykaran, Mobhrig, Pesindo, SabiIiIIah/ Hisbullah, dan lain-lainnya untuk bergerak. Tujuannya ialah menyerbu ke kota Pamekasan menjelang malam takbiran sekaligus berIdul Fitri di Pamekasan, yakni tanggal 16 Agustus 1947.
Selain itu kepada Mayor Mangkudiningrat diperbantukan seorang perwira. dan MBT Yogyakarta yang sedang bertugas di Madura, (Sebelumnya pernah menjadi Kepala Staf Resimen 5 Bangkalan, pimpinan Letnan Kolonel Asmoroyudo) yaitu Kapten Mohammad Saleh. Ia selalu mendampingi Mayor Mangkudiningrat dalam tugas-tugas pertempuran sampai terhentinya perlawanan bersenjata di Madura.
Sesudah Mayor Mangkudiningrat menerima penyerahan pimpinan Sektor III, dikumpulkanlah semua Pimpinan Badan-badan Perjuangan di markas Sektor (Kolpajung), untuk menentukan kembali secara singkat kebulatan tekad dan sikap selanjutnya dalam gerakan melawan Belanda.
Yang hadir pada pertemuan itu Pimpinan-pimpinan Sabilillah/Hisbullah antara lain ialah Kyai Hamid, Kyai Sumber Gayam, Pesindo dihawah pimpinan Sudomo, Barisan Pemberonan Republik Indonesia di bawah pimpinan K.H. Amin Jakfar, adapun Mobbrig Kepolisian dibawah pimpinan Komisaris Polisi Zaenal Alim.
Berkat adanya kemauan kerja sama dan rasa harga menghargai baik darin pihak tentara , Kepolisjan maupun dari Badan-badan Perjuangan lainya, maka di bawah pimpinan Mayor Mangkudiningrat sebagai Komandan Sektor diadakan musyawarah antar Pimpinan-pimpin dan hasilnya didapat mufakat yang bulat sebagai berikut;
– Serangan secara serentak akan dimulai pukul 02.00. Serangan dimulai dengan memerintahkan Kapten Zaeni (CPM) untuk memuntahkan peIuru-peluru mortirnya dari Asta Daja ke kota Pamekasan, sebagai pembuka serangan.
– Mobbrig ditugaskan menycrang dan utara masuk kota dan ke sebalah barat kota (serangan bayangan). Serangan pokok diserahkan kepada Kompi Slamet Guno yang didukung oleh Kelasykaran, Sabilillah, Pesindo, dan lain-lainnya menuju sasaran kota melalui jalan besar dari arah timur.
– COPP dan Staf di bawah pimpinan Mayor Abu Djamal mengambil route sebelah kanan/utara tanpa meninggalkan route pokok, masuk ke kota mendampingi Mayor Mangkudiningrat.
Kapten Hanafi sebagai Komandan Markas dan Letnan Hosen sebagai ajudan ikut dalam rombongan COPP menyerbu ke kota Pamiekasan.
– Mayor Mangkudiningrat bersama Kyai Zaini dari Galis dengan kurang lebih 1000 anggota barisan Sabilillah dan anggota Kelasyakaran lainnya menyerañg dari arah timur mengikuti Kompi Slamet di belakangnya ke kota Pamekasan, karena menurut laporan di situ Belanda mengurangi kekuatannya.
Walaupun baru menerima penyerahan Pimpinan Sektor dan belum paham benar akan semangat anak buahnya maupun dari Badan-badan Penjuangan dengan sedalam-dalamnya, namun berkat hasil musyawarah serta atas dasar kepercayaan dan semua pihak termasuk darin pimpinan Badan-badan Perjuangan tersebut, maka Mayor Mangkudiningrat berhasil baik dalam serangan umum dan masuk ke dalam kota Pamekasan.
Tulisan diangkat dari buku Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura, oleh Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Madura, 1991, Bab III, dengan sub judul : (1) Aksi Militer Belanda di Madura, (2)Pembentukan Komando Pusat Pertempuran Madura (3) Pasukan Belanda Menuju Bangkalan,(4) Gerakan Belanda dan Pendudukan Arosbaya,(5) Pengerahan Tenaga di Daerah Pendudukan Belanda, (6) Serangan Umum di Kota Pamekasan, (7) Penghianatan Dalam Pertempuran Klampar , (8) Serangan Balasan Terhadap Belanda di Desa Morsomber, (9) Pusat Pemerintahan Sipil Pindah Ke Sumenep, (10) Serangan Final Belanda Besar-Besaran Ke Sumenep