Roma Sekot Bângsal, adalah bentuk rumah yang muncul pada abad kesembilan belas masehi, yang pada awalnya merupakan rumah para petinggi keraton, seperti Ajhek. Mantré, Santana keraton dan lain-lain. Lama kemudian ditiru oleh para Lora Dhisa, Arés, Mantré yang bermukim di wilayah Pangarésan (kecamatan) atau pedesaan.
Tentunya atas ijin dan penguasa waktu ¡tu. Selanjutnya menjadi rumah masyarakat umum tapi bagi mereka yang mempunyai status sosial agak tinggi, dan juga bagi yang mampu.
Bentuk rumah Bângsal, memang cocok dengan nuansa pedesaan di Madura Sumenep yang beriklim tropis, disamping bentuk atapnya yang nyarongjung (melonjong keatas) atau berbentuk limas seperti rumah pedesaan sebefumnya. Masyarakat Sumenep memilih rumah yang atapnya lonjong keatas atau mengerucut, untuk memudahkan aliran air hujan jatuh ke tanah. Awalnya atap rumah pedesaan juga rnelonjong ke atas dan terbuat dan daun rumbiya sehingga peluncuran air hujan cepat turun ke bawah dan mengurangi tingkat kebocoran.
Keberadaan di dalam roma bângsal, itu sendiri mirip seperti rumah Joglo di pulau Jawa, sedangkan bângsal maksudnya gudang atau ruangan karena tidak ada petak kamarnya (Pawitra; 2009), yang ada hanya satu kamar ruangan tidur dan satu ¡agi sebagai serambi. Dan atapnya berbentuk limas, di setiap sudut wuwungannya ada hiasan seperti buritan perahu yang disebut jângghâr.
Pada awalnya jângghâr tersebut adalah bentuk burung Hong atau sejenis burung Cendrawasih yang akan terbang, lama kelamaan bentuknya sangat sederhana. Keberadaan jângghâr dengan jumlah yang berbeda dìsesuaikan dengan tingkat strata pemiliknya, ada yang dua buah, enam buah dan sepuluh buah. Sedangkan kelengkapan perangkat serta ornamen dan rumah Bângsal, yakni antara lain: