Oleh Mien A. Rifai
Keris––yang dalam Bahasa Jawa disebut curigo––merupakan salah satu bentuk pengejawantahan keksatriaan dalam budaya Jawa (di samping turangga–kuda tunggangan, wisma–rumah kediaman, kukila–burung berkicau seperti perkutut, dan wanita–istri pendamping), sehingga kepemilikannya harus dilengkapi sebagai pemenuhan persyaratan kejantanan terutama di kalangan para bangsawan.
Ketika umbul-umbul Mataram berkibar di Madura, keluarga para adipati di kadipaten-kadipatennya umumnya menganut segala sesuatu yang diteladani keraton Mataram. Akan tetapi kemudian terjadi perkembangan evolusioner yang terlihat telah memiliki dampak jangka panjang.
Dari semula, di tempat keris manusia Madura lebih memilih belati untuk dijadikan senjata atau ghâghâman sebagai pelambang kejantanan seorang pria, yang umumnya dinamakan sèkep. Istilah ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain karena tidak termilikinya perwujudan konsep dengan pengertian yang serupa. Sèkep memunyai medan makna sangat luas sehingga selain senjata untuk membela diri, dapat pula meliputi sesuatu yang berfungsi sebagai persediaan, bekal, pegangan, penangkis dan penangkal bala petaka, penambah kepercayaan diri, penguat keyakinan, atau pun azimat.
Malahan sekep yang dibawa manusia Madura modern di masa kini dalam memasuki lingkungan masyarakatnya dapat berupa kepemilikan pengetahuan, ilmu, dan teknologi yang lebih terandalkan buat dijadikan bekal bersaing dalam percaturan pergaulan kehidupan dunia modern.
Baca juga: Makna Sekep dan Nilai Pusaka Madura
Karena rakyat jelata Madura umumnya bekerja sebagai petani yang biasa menggunakan sadâ’ (sabit) atau arè’ (arit) sebagai alat serba guna untuk bekerja, mereka tidak merasa perlu lagi membawa ghâghâman selain kawan petani yang berupa sabit tadi. Sabit atau arit merupakan nama yang umum dipakai untuk mengacu pada parang yang bentuk hulunya melengkung seperti rupa rembulan bertanggal muda sehingga menimbulkan ungkapan membulan sabit. Istilah dan gambar palu arit sangat terkenal di Indonesia sebelum tahun 1965 karena merupakan lambang perjuangan kaum komunis internasional sehingga dipakai pula oleh Partai Komunis Indonesia.
Entah bagaimana awal kejadiannya sadâ’ dan arè’ Madura kemudian lalu lebih dikenal dengan sebutan celurit Madura, dengan konotasi yang buruk penuh stigma serba negatif karena secara salah selalu dikaitkan dengan carok yang dianggap merupakan tindak kejahatan yang diwarnai kekerasan. Dalam kaitan ini menarik untuk mencatat bahwa sampai edisi tahun 1966, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta belum memasukkan kata celurit sebagai lema.
Masih diperlukan penelitian yang mendalam untuk memahami kenyataan ketidakberterimaan meluas terhadap keris dan senjata tajam lainnya yang dijadikan pelambang keksatriaan, hiasan, sèkep atau apa pun fungsinya sebagai salah satu kebudayaan nasional kita.
Penggunaannya dalam upacara resmi memang bisa dipertahankan tanpa mengganggu makna kesakralan upacara. Sebagai akibatnya sekarang banyak pengantin Indonesia modern yang sering tidak lagi berkeris saat duduk di pelaminannya, atau . . . hanya menggunaan keris-kerisan.
*****
Tulisan bersambung:
- Sumbangan Budaya Madura Kepada Kebudayan Nasional
- Pengembangan Bahasa Madura dan Problematikanya
- Sekilas Falsafah Abhântal Ombâ’ Asapo’ Angèn
- Pembudidayaan Bhâlungka’ dan Tèkay Madura
- Tentang Kuliner: Ètèk sè Nyongkem
- Sèkep Pelambang Kejantanan Seorang Pria Madura
- Aroma Du’remmek dan Kembhâng Campor Bhâbur
- Pola dan Bentuk Rumah: Tanèyan Lanjhâng
- Ramuan Jhâmo Bagi Wanita Madhurâ
- Masa depan Madura Bergantung Pemuda Madura