Tan-Mantanan, Tradisi Permainan Anak Madura

Arakarakan saat Fesival Tan-Pangantanan

Syaf Anton Wr

Tradisi Tan-mantanan atau tan-pangantanan merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh anak-anak di kala senggang.  Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan setelah panen tiba, setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka biasanya berkumpul, dan secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari kelompok utama (perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok tersebut kemudian berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di tempat yang berbeda.

Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin anak-anak tersebut sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper palekat) yang dililitkan ke tubuh masing-masing pengantin sebatas dada. Sedangkan tata rias memakai lulur yang dibuat dari beras dan temmo (kunir & kunyit putih). Lulur tersebut dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga tampak bagian tubuh yang diluluri berwarna kuning (koneng ngamennyor).

Sedangkan untuk mempercantik penampilan, maka di atas kepala di pasang sebuah mahkota yang di buat dari rangkaian daun nangka, dan roncean bunga melati. Aksesoris pengantin agar tampil menarik adalah rumbaian dari roncean daun melati (to’oran dhaun malate) yang digantungkan di leher, serta dilengkapi pula sumping daun kamboja, gelang kaki dan beberapa pelengkap bawaan yang di bawa oleh pengiring.

Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan kedua pengantin di tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin bertemu lengkap dengan para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat untuk mengarak kedua mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak keliling kampung, berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang iringan pengantin semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama anak-anak. Sambil berjalan para pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.

Dua pengantin pada tan mantanan

Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang

Dhe’ nong dhe’  ne’ nang
Nanganang nganang nong dhe’
Nong dhe’  ne’ nang jaga jaggur
La sayomla haeto lillah
Ya amrasol kalimas topa’
Haena haedhang haena dhangkong
Pangantanna din ba’aju din tamenggung
Ayola’ yole nengkong abli pole ngantol
Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon
Pangantan ka’imma pangantan
Mantan loji pamaso’a ka karaton
Bu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’
Aeng tase’ bang kambangan
Dhu panarema, dhu panarema
Balanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar kong
Nase’ obi le’ kowa lurking
Ban-gibannna le’ nase’ jagung
Pangerengga le’ pate’ buttong
Ya, hadirin tore so’onnagi
Paneka pangantan sopaja kengeng salamet
Ya salam, ya salam
Kitab suci dah lama-lamanya
Kini pengantin lah tiba lah tiba
Kepada kawan-kawanku semua
Mudah-mudahan berjumpa lagi
Tan-taretan sadajana e dalem somana
Di sana e ka’dinto Karangduwek nyamaepon
Nyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseran
Olle tetep Islam ban Iman
Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)
Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantan
Pangantanna din ba’aju din tamongkong
Jas Turki pakaian celana puti
Aan’ ayam  berani mati, jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam pote
Cocco’ sengkang e soro pajikaran

Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.”

Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”, bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat, kalimas topa’”, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena analisa lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.

Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman Ratu Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan keraton Sumenep).

 Tulisan bersambung:

  1. Tan-Mantanan, Tradisi Permainan Anak Madura;
  2. Nilai Kesejarahan Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang;
  3. Kandungan Filsafat Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang;

#  Gambar peristiwa: Tradisi Tan-Mantanan dalam Sebuah Festival

Responses (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.