Membaca Madura dari Serat Mortaseya

Jairi Irawan

Serat Murtasyiah (ilustrasi)

Studi tentang Madura dalam konteksnya menghadapi modernitas begitu marak. Pelbagai buku maupun opini di surat kabar tentang hasil studi tersebut tersebar di pelosok antero negeri. Pasca jembatan Suramadu diresmikan setahun lalu, tentunya kian menjadikan pembacaan para pakar dan pemerhati Madura lebih antusias.

Hal ini mengingat dampak dibukanya Suramadu berpengaruh pada kehidupan warga masyarakat di pulau garam tersebut. Betapa Madura telah disorot bahwa dirinya sedang menghadapi gempuran baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, sangat wajar bila pembangunan jembatan ini sempat mengalami tarik-menarik alot disebabkan kekhawatiran sejumlah pihak akan adanya “perubahan” dalam arti negatif bagi masyarakat Madura.

Membaca Madura semestinya memposisikan diri dalam keutuhannya terhadap masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Membaca Madura haruslah mempertimbangkan ketiga hal tersebut dan tidak bisa saling meniadakannya. Sayangnya dalam membaca Madura, lebih cenderung hanya sekilas saja pada konteks kekinian. Itupun sudah terkontaminasi dengan stereotip negatif bahwa orang Madura dianggap bersifat keras dalam berbicara, kasar dalam bersikap dan lain-lain.

Menimbang Madura saat ini bisa ditebak arahnya senantiasa berkutat pada kerusuhan-kerusuhan etnis. Madura seolah adalah biang aktor utama setiap kerusuhan versus etnis lain. Masih tercatat peristiwa rusuh paling mutakhir Madura pun dituding biang keroknya — saat kerusuhan etnis Betawi versus Madura di daerah Tangerang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.