Adapun kaitan antara budaya carok dengan perkawinan suku Madura, yang sering terjadi disebabkan oleh masalah perempuan. Dimana, apabila seorang perempuan telah resmi bertunangan dengan seorang laki-laki , kemudian perempuan tersebut selingkuh atau berjalan dengan laki-laki lain, maka tunangannya merasa bahwa dirinya telah dihianati dan timbullah rasa marah dan emosi. Yang ada dalam pikiran tunangannya bahwa dia telah dipermalukan oleh selingkuhan tunangannya, akhirnya muncullah keputusan yang ada di pikirannya untuk bercarok seakan-akan tidak ada cara lain kecuali hanya dengan cara carok.
Keputusan yang diambil ini tanpa sepengetahuan seorang ketua yang telah dipercayakan untuk meresmikan mereka bertunangan. Sedangkan kalau dilihat ada cara lain yang lebih baik dalam permasalahan ini yaitu dengan cara : menyuruh ketua tersebut datang kepada orang tua perempuan secara baik-baik dan menanyakan perihal pertunangan, apakah anaknya sudah tidak ingin melanjutkan tunangannya ke jenjang perkawinan ? atau memang sengaja dia berselingkuh agar tunangannya menjadi marah dan tidak menjadi kawin dengan dia ? apabila jawaban dari pihak perempuan ada unsur kesengajaan maka, maka pihak laki-laki akan mengambil keputusan yaitu dengan cara membatalkan tunangannya atau dengan cara bercarok dengan selingkuhan perempuan itu.
Perbedaan Perkawinan Suku Madura di Kalimantan barat dengan di Pulau Madura
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang yang pernah tinggal di Madura, bahwa perkawinan suku Madura di tempat asalnya (Pulau Madura) dengan suku Madura yang berada di Kal-bar khususnya di Rantau Panjang tidak terlalu berbeda, hanya dalam beberapa hal tertentu saja. Letak perbedaanya yaitu :
Suku madura di Rantau Panjang dengan Suku Madura di Pulau Madura.
Suku Madura di Rantau Panjang melaksanakan perkawinan yaitu, pengantin perempuan tidak diperbolehkan berada di luar kamar atau duduk bersebelahan dengan pengantin pria, ia harus tatap berada di dalam kamar selama akad nikah berlansung. Hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi mereka, dalam hal ini pengantin perempuan harus mentaati atau mematuhi perintah orang tuanya. Tradisi ini dipandang baik di kalangan suku Madura khususnya daerah Rantau Panjang.
Untuk segala sesuatu, baik dalam penentuan jodoh dan yang perlu dipersiapkan dalam perkawinan diputuskan orang tuanya (walinya) misal dalam hal menentukan jumlah mahar atau mas kawin. Belajar dari zaman nenek moyang dahulu, ketika anak perempuan ingin kawin dengan dengan seorang laki-laki, maka yang menentukan antara ya dan tidaknya tergantung pada orang tua. Sedangkan untuk perekawinan suku Madura di pulau Madura dalam melaksanakan perkawinan, pengantin perempuan duduk bersebelahan dengan pengantin laki-laki di hadapan penghulu dan para saksi-saksi yang ada. Hal ini sudah menjadi perubahan yang sangat jauh berbeda sekali dengan orang-orang Madura yang berada di pedesaan, ini diakibatkan pengaruh budaya luar yaitu budaya jawa.