Alat Pinangan (Teket Petton)
Dengan berjalannya waktu, tiba saatnya pihak laki-laki untuk mengantarkan alat-alat pinangannya (teket petton). Alat-alat yang diantarkan antara lain :
- Kocor (cucur)
- Polot, palotan (ketan) yang sudah dimasak
- Sirih dan pinang
- Busana lengkap seorang wanita, seperti sarung, kerudung, baju dll
- Alat-alat perhiasan
Apabila yang bertunangan ini seorang adik dari kakak perempuan yang belum bersuami / menikah, maka pakaian-pakaian itu harus digandakan , dengan alasan agar sang kakak cepat mendapat jodoh. Ini adalah suatu tradisi yang sudah dipegang oleh masyarakat Madura di Rantau Panjang dan hal ini tidak dapat disangkal lagi.
Pada awalnya adat pinangan tidak ada / tidak dilakukan oleh masyarakat kami, dan dengan berjalannya waktu saudara-saudara kami datang dari pulau Madura ke Rantau Panjang, maka muncullah adat pinangan ini. Adat ini diberi nama oleh mereka “Cirancir”, yang mana alat-alatnya hanya berupa Polot (ketan) dan kocor (cucur). menjelang beberapa tahun kemudian adat pinangan ini diganti nama menjadi “Tiket Petton”, yang namanya dipakai sampai sekarang ini. (Sumber : Madsudi 13 Maret 2005)
Alat Hantaran (Uang Asap)
Berbicara mengenai alat hantaran, pada awalnya hanya berupa makanan mentah misalnya : ayam, beras, beberapa alat dapur lainnya, baju dan sarung. Setelah bebrapa tahun kemudian, alat hantaran ini di ganti dengan menggunakan uang, sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pihak perempuan. Biasanya yang menghantarkan uang asap ini adalah seorang ketua dari pihak laki-laki, sekaligus menentukan waktu pelaksanaan resepsi pernikahan.
Waktu dan Alat Pelaksanaan Resepsi Pernikahan
Pada umumnya suku Madura melaksanakan pernikahan pada bulan Robi’Ulawal (bulan Rasol) tahun Hijriyah atau sekitar bulan mei dan juli tahun masehi, dengan alasan karena pada bulan itu adalah bulan yang terbaik untuk melaksanakan perkawinan.
Selain itu ada juga ada bulan yang tidak diperbolehkan melaksanakan perkawinan menurut suku Madura itu ada tiga (3) yaitu :
- Bulan “Puasa Ramadhan”, alasannya karena pada waktu itu semua masyarakat Madura sedang kosentrasi untuk beribadah.
- Bulan “Muharam”, alasannya karena bulan itu sering terjadi musibah (bulan angker).
- Bulan “Dzul Qo’dah, alasannya karena bulan ini oleh suku Madura adalah bulan sukar (Takape), maka apabila perkawinan / pernikahan dilaksanakan, setiap orang akan sulit mencari Rizki. (Sumber : P Umar , 11 Maret 2005)