(Upaya Progresif dalam Menyelamatkan Kebudayaan Madura dari Gempuran Globalisasi)
oleh: Muhammad Mihrob
Gempuran Era Globalisasi
Globalisasi mengibaratkan ‘naga’ yang menakutkan dan sewaktu-waktu akan menyemburkan api panas pada semua aspek kehidupan. Dengan ideologi yang dibawanya: neoliberalisme, imperialisme, dan globalisme baik dalam pemikiran (ideologi) maupun dalam tataran praksis (etika dan norma kehidupan). Di satu sisi, globalisasi mendengungkan kemajuan di bidang perekonomian, tetapi, harus diakui bahwa kehadiran globalisasi juga akan menjadi ‘illat’ tersendiri bagi keberlangsungan negara Indonesia secara umum. Utamanya, pada aspek budaya yang merupakan hakikat eksistensi estetika, etika dan spritualitas suatu suku bangsa bernama Indonesia.
Di Indonesia, kehadiran globalisasi ditandai denga adanya suatu pembentukan karakter yang bersifat formal, administratif, dan sangat terstruktur dalam hal apapun, baik dalam ranah hukum-kenegaraan, maupun dalam skala mikro berupa kebudayaan masyarakat kelas bawah (grass roots cultur society). Mungkin pada titik ini bisa dimaklumi, sebab pembentukan karakter itu sewaktu-waktu memang diperlukan untuk menegaskan bagaimana suatu eksistensi itu berlangsung dalam kehidupannya. Akan tetapi, ketakutan masyarakat, yakni tusukan era globalisasi yang dilakukannya pada aspek kebudayaan yang merupakan hasil cipta-karya para pendiri bangsa ini. Utamanya kebudayaan yang ada di suatu daerah yang dinilai unik. Seperti di Madura.
Di Madura, berbagai kebudayaan adalah hasil cipta-karya yang diwariskan oleh masyarakat terdahulu atau bisa kita sebut dengan nenek moyang. Kebudayaan itu mengandung nilai yang harus diakui kualitasnya. Estetika, etika, dan karakter kebudayaan yang has Madura adalah nilai ashlah yang sejatinya perlu kita pikirkan bersama. Berbagai simbol kebudayaan yang mengandung nilai, seperti kerapan sapi, keris, batik dan lainnya, maupun berupa nilai moral kesopanan dan kerjasama antarmasyarakat, adalah warisan dari masyarakat pendahulu yang tidak boleh kita abaikan. Setidaknya, dengan mengapresiasi kebudayaan tersebut pada akhirnya akan menegasakan karakter dan kepribadian masyarakat Madura secara umum.
Akan tetapi, kini keresahan dari kalangan masyarakat Madura seakan menemukan titik klimaksnya, ketika globalisasi menjadi ‘racung terselubung’ dengan segala paham yang diproduksi oleh Barat, telah mempu menusuk eksistensi kebudayaan lokal di Madura. Hilangnya sekat-sekat etika-moral antara budaya “barbar” dan kebudayaan lokal, menjadi kegelisahan tersendiri bagi para pemuka (seperti kyai, budayawan dan akademisi) di wilayah Madura. Dan pada saat yang sama, generasi muda Madura kurang apresiatif pada kebudayaan mereka sendiri, bahkan cenderung menganaktirikannya. Sehingga, penulis anggap penting jika penegasan dan pembumian kembali nilai-nilai (etika dan estetika) kebudayaan dilakukan secara masif dan optimal.