Sebagian masyarakat mungkin tidak akan menyangka bahwa seorang tokoh Ulama kharisrnatik yang amat disegani seperti KH. Ahmad Basyir adalah pejuang kemerdekaan yang pernah bergabung dalam barisan Sabilillah. Yang patut dikagumi beliau memanggul senjata sendiri untuk bertempur melawan penjajah Belanda dalam rangka mengangkat harkat serta martabat bangsa dan negara. Keberanian beliau dalam membela tanah air selalu mempoisisikan diri pada garis paling depan.
Pada saat tentara Dai Nippon mendarat di pulau Madura, keadaan rakyat sangat memprihatinkan, para penjajah merampas hasil jerih payah serta memperkosa hak kemerdekaan rakyat. Setelah tentang Jepang, kemudian pasukan Belanda datang lagi untuk yang kedua kalinya dengan membonceng tentara Sekutu, dengan tujuan akan menjajah lagi. Dengan demikian para pengasuh pondok pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep beranggapan bahwa penjajahlah yang menyebabkan bangsa ini sengsara, merekalah sumber malapetaka yang terjadi dimana-mana.
Maka tampillah para Kiai di Ponpes Annuqayah untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti halnya, Kiai Chasim Ilyas bergabung dengan barisan Sabilillah di Pamekasan, Kiai Abdullah Sajjad mengkoordinir kelompok pejuang yang berada di wilayah Guluk-guluk dan sekitarnya dengan dengan membentuk barisan Sabilillah. Dan ketika pondok pesantren berubah fungsi menjadi markas tentara untuk tempat menyusun strategi perang.
Dalam kondisi tersebut tokoh sentran Ponpes Annuqayah yakni Kiai Abdullah Sajjad ikut bertanggung jawab untuk membantu meringankan beban yang diderita masyarakat sekitarnya. Beliau tidak bisa hanya berpangku tangan melihat rakyat yang sedang berada dalarn keadaan sengsara. Karena tuntutan situasi itulah, maka beliau memfokuskan kegiatannya pada perjuangan melawan tentara Belanda dengan cara bergerilya.
Untuk mererekrut perjuang pertama-tama yang dipilihnya yakni putranya sendiri Ahmad Basyir yang masih remaja ikut bergabung menjadi anggota barisan Sabilillah. Rupanya sang Kiai muda yang lahir tahun 1925 ini merasa ikut bertanggung jawab atas nasib bangsanya, sehingga tidak takut berperang sekalipun nyawa sebagai taruhannya. Tampaknya nilai juang dan keberaniannya mempertahankan bangsa dan wilayahnya menurun dari ayahandanyasendiri.
Pada tanggal 8 Oktober 1947, tentara Belanda yang saat itu menguasasi wilayah desa Cen-lecen, Kecamatan Pakong, Pamekasan mengadakan serangan ke wilayah pertahanan di Guluk-guluk tepatnya di desa Bakeong. Dalam perternpuran untuk menghadang masuknya tentara Belanda ke Sumenep, pasukan MB (brigade mobil) dan barisan Sahilillah berjuang mati-matian melawan tentara Belanda. Disana pasukan Belanda diterima dengan hangat oleh para Pejuang dan dua jurusan, dan sebelah utara jalan diserang oleh barisan Sabil sedangkan dan selatan oleh pasukan MB.
Assalamualaikum.saya dengar KH Basyir Sumenep pernah menulis kitab tafsir. Apa dari penulis bisa menginfokan kepada saya melalui tulisan?
Waalikumsalam. Kami tidak tahu persis, lebih baik konfirmasi saja ke pihak PP Annuqayah
Nanti kami konsultasikan pada ahlinya