R. Amiruddin Tjitraprawira, tokoh yang berasal dari Bangkalan Madura ini, dalam kondisi sekarang memang tidak banyak dikenal. Namun sebenarnya dia sebagai seorang seniman musik telah menorehkan sejarah bagi perkembangan kesenian di Pulau Madura melalui gubahan lagu-lagunya yang berbahasa Madura.
Dengan nama samaran Atjit, dia melahirkan lagu-lagu yang sangat populer pada jamannya, dan sampai sekarangpun masih diingat, dilantunkan dan diabadikan sebagai genre lagu Madura yang monumental.
Ada sejumlah lagu hasil kreatifitasnya yang banyak beredar seperti lagu; Pangèran Trunodjojo, Madhurâ O Madhurâ, Asta Aermata, Kerrabhân Sape, Djoko Tole, Tera’ Bulân,È Pasèsèr, Kè’ Lèsap, Kembhângnga Naghârâ,Tondu’ Majâng,Aèng Tantja’ Torowan, Orèng Matrol dan lainnya
Ironisnya, sampai sekarang tidak seorang senimanpun yang dapat dan mampu mengimbangi kekayaan kreatifitas yang merepresentasikan lagu-lagu etnik Madura, sehingga lagu-lagu ini menjadi abadi.
Keabadian itu bukan sekedar dibuktikan dalam karya audio, juga dalam bentuk teks, sebagaimana terhimbun dalam buku “Pamertè” Kapèng sèttong, sè makalowar buku panèka “Parabân Sonṭè” ghun Bhângkalan, yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Pengembangan dan Kebudayaan Republik Indonesia Tahun 1952
Dalam perkembangannya, lagu-lagu tersebut menjadikan “lagu wajib” setiap peristiwa terkait “keMaduraan”, baik dalaam ceremoneal, festival lagu Madura, maupun hajatan di tengah masyarakat – etnik – Madura
Amiruddin Tjitraprawira lahir 18 Mei 1920 (wafat 17 Desember 1975), pada tahun 1940 hijrah dan bekerja di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ditempat perantauannya tersebut ia meminang dan kawin dengan gadis Banjar bernama Radiah. Namun ia kembali lagi ke Madura tahun 1943.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya tahun 1950, Atjit kembali lagi ke Banjarmasin untuk melaksankan tugas dan kewajibannya sebagai pegawai RRI di tempat tersebut. Dan kemudian pada tahun 1959, ia dipindahkan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, dengan menjabat sebagai Kepala RRI Kupang (syafanton)