Para Penyebar Islam Awal di Madura
Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd,
Selir Bhre Kertabhumi (Brawijaya V) selain Ratu Andarawati/Dwarawati yang berasal dari negeri jauh merupakan seorang wanita yang konon adalah jelmaan raksasa wanita (Jawa: Buto) dan mengubah wujudnya menjadi wanita cantik serta mampu memikat hati sang Raja, dari hubungannya itu ia melahirkan seorang anak bernama Arya Damar. Selir ini bernama Endang Sasmito Wati. Beberapa sumber tradisional ada yang menyebutnya sebagai jelmaan buto, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah “Raksasi” (Raksasa Wanita).
Mitos tentang wujud makhluk gaib dari Endang Sasmito yang dipercaya sebagai ibu dari Arya Damar memang sangat unik, sama halnya dengan Brawijaya V yang mempunyai beberapa selir dengan latar belakang berbeda-beda. Dwarawati adalah seorang wanita asal Campa, selain itu selir Brawijaya lainnya ialah “Putri China”. Keberagaman latar belakang dari para selir Brawijaya tentu semakin lengkap dengan figur Endang Sasmito, sebagaimana disebutkan sebelumnya ialah memiliki wujud asli makhluk gaib.
Terlepas dari kisah dongeng/mitos yang menceritakan bahwa Endang Sasmito telah memikat hati Brawijaya V dengan muslihat kekuatan gaibnya, sesungguhnya ada “motif paralel” dari pola perkawinan Raja Majapahit ini yang dapat sedikit memberi celah guna mengungkap sosok Endang Sasmito.
Raksasa dan buto termasuk dalam makhluk mitologi Hindu yang sebenarnya keduanya berbeda walaupun cenderung memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Keduanya adalah makhluk mitos yang berbeda dengan manusia secara umum. Buto (India: bhuta) adalah makhluk gaib yang kebanyakan digolongkan sebagai “makhluk jahat” seperti Ravana (Rahwana) dalam cerita Ramayana karangan Mpu Valmiki (Walmiki) (Soundararajan, 2001: 133), mewakili hantu dan roh jahat dengan raja tertingginya yang bernama Bhutasvara (Danielou, 1991: 196).
Sedangkan, raksasa lebih mewakili sosok makhluk gaib bertubuh besar dengan kemampuan kekuatan mistis yang dapat mengubah wujud. Di nusantara makhluk ini diwakili oleh sosok Arca Gupolo. Buto juga memiliki kemampuan untuk berubah wujud, tetapi jenis makhluk buto lebih identik dengan jelmaan roh manusia yang meninggal dengan tidak wajar, biasanya makhluk ini juga menghuni tempat-tempat tertentu seperti makam, pohon, ataupun bangunan-bangunan kosong. Raksasa tak ubahnya seperti “ras manusia super” yang cenderung mendapatkan kekhususan dalam ukuran tubuh yang besar.
Dalam cerita Ramayana maupun Mahabrata dapat ditemukan sosok-sosok raksasa yang berpihak pada kebaikan seperti Wibisana dan Gatotkaca, ada pula dari jenis mereka yang berpihak pada kejahatan seperti Rahwana, Kumbhakarna (saudara Rahwana), Hidimba, Bakashura, Kirmira, Jatasur, dan Alamvusha. Pahlawan Gatotkaca juga dikisahkan sebagai putra dari Bima yang menikahi wanita raksasa bernama Hidimbi (saudari Hidimba). Dibandingkan dengan buto, raksasa adalah makhluk yang mampu difigurkan sebagai ras “berperadaban”, terbukti dengan adanya kepercayaan Hindu mengenai kerajaan kaum raksasa bernama Alengka yang diperintah oleh Rahwana.
Hingga kini masih ditemukan kepercayaan bahwa Kerajaan Alengka dahulu merupakan Sri Lanka di masa modern. Moyang pertama dari ras orang Sri Lanka diyakini sebagai orang Arya yang datang ke pulau itu (Murray, 2009: 9).20 Penghuni awal Sri Lanka terdiri atas beberapa suku seperti Yakkas, Nagas, dan yang terakhir ialah suku Raksasa. Kemungkinan yang terkuat tampaknya BrawijayaV juga turut memperistri seorang wanita asal Sri Lanka sebagaimana ia juga memiliki selir-selir yang berasal dari luar nusantara seperti Campa dan China. Maka sebutan “raksasi” yang disematkan pada Endang Sasmito lebih merujuk kepada identifikasi ras maupun ukuran tubuh yang kemungkinan lebih tinggi dan besar daripada kebanyakan orang-orang nusantara.
Ketiga selir Brawijaya V itu selain memiliki latar belakang asal tempat yang berbeda-beda juga memiliki keragaman sifat, adapun di antaranya terdapat selir yang kuat dan ada pula selir yang paling dicintai sang penguasa Majapahit. Dikisahkan bahwa Brawijaya V sangat mencintai selirnya yang bernama Putri China. Lantaran sikapnya itu, selirnya yang bernama Andarawati asal Campa merasa sangat marah. Melalui intrik-intrik yang dilaluinya, akhirnya Andarawati berhasil membuat Brawijaya V melengserkan kedudukan Putri China sebagai salah satu selir kesayangannya akibat kecemburuan yang dirasakan oleh selir asal Campa tersebut.
Dalam novel sejarah karangan Sindhunata (2007: 26) diceritakan bahwa Brawijaya V memanggil patihnya dan memerintahkan agar Putri China diserahkan kepada Arya Damar, salah satu anaknya yang diangkatnya menjadi Adipati Palembang. Waktu itu Arya Damar sedang berada di Pelabuhan Gresik menunggu perahu yang akan membawanya ke Palembang.
Lewat patihnya, raja juga menitipkan sepucuk surat untuk anaknya. Arya Damar menerima anugerah ayahnya dengan gembira kemungkinan Putri China memiliki kecantikan yang memukau. Bunyi surat itu adalah bahwa Putri China dilengserkan sebagai selir untuk kemudian menjadi istri Arya Damar, tetapi berhubung baru mengandung anak Brawijaya maka tidak diizinkan menidurinya hingga ia melahirkan (Sukamto, 2015: 240).
Interpretasi dalam novel tersebut memang tidak sepenuhnya dapat dipastikan nilai validnya, tetapi melihat dari akar kisah sejarah yang kemudian dielaborasi oleh penulisnya sangat memungkinkan adanya kebenaran berdasarkan faktor-faktor pokok mengenai kisah pelengseran Putri China hingga dilimpahkannya pada Arya Damar.
20 Sebagian ada yang menolak pendapat ini dengan skeptisisme atas identifikasi Alengka dalam epos Ramayana sebagai “Sri Lanka” di masa modern. Alengka tampaknya tidak merujuk pada sebuah letak geografis yang nyata. Belum lagi keyakinan bahwa moyang orang Sri Lanka adalah orang Indo-Eropa (Arya) yang dinilai lemah karena kurangnya bukti arkeologi maupun kebahasaan seperti dalam pendapat Jonah Blank (1992: 226).
Tulisan bersambung:
Response (1)