Arya Menak Senoyo

Layang kuno yang tersimpan di museum Pamekasan

Dalam kajian yang lebih bernilai historis maka didapati kemudian bahwa Raden Patah adalah putra Brawijaya dari perkawinannya dengan Putri China yang dapat diidentifikasi bernama asli Su Ban Chi. Saat kehamilannya memasuki usia tiga bulan (mengandung Raden Patah yang bernama asli Hasan), Brawijaya “menganugerahkannya” kepada Arya Damar sang Adipati Palembang (Pringgoharjono, 2006: 140). Sebelum menerima bekas selir ayahnya itu, Arya Damar telah memiliki putra bernama Arya Menak Senoyo dari perkawinannya dengan seorang wanita asal Gunung Ringgit di Lumajang.

Istri Arya Damar tersebut tidak dapat diidentifikasi mengenai nama aslinya. Namun, dengan melihat gelar ‘Menak’ yang disematkan kepada nama anak Arya Damar, dapat dipastikan bahwa asal ibunya ialah memang dari Lumajang yang saat itu menjadi bagian wilayah Blambangan. Gelar ‘Menak’ sering muncul dalam cerita tutur ujung timur Pulau Jawa (Graaf & Pigeaud, 1985: 230). Sedangkan, dari perkawinan antara Arya Damar dan Putri China lahirlah Raden Husin..

Arya Damar adalah pemimpin politik yang disegani oleh masyarakat Palembang. Nama Arya Damar kerap dikaitkan dengan seorang panglima Majapahit yang ikut menaklukkan Bali pada 1343, tetapi Arya Damar putra Brawijaya V berbeda dengan tokoh itu.21 Salah satu cerita rakyat Sumatera Selatan menyebutkan mengenai adanya kekacauan yang diakibatkan oleh gangguan sekelompok perompak asal China. Setelah berhasil memadamkan kekacauan itu, Arya Damar yang telah memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Ario Dillah (Arya Abdillah), memutuskan untuk tidak menyiksa para perompak

China. Justru kemudian Ario Dillah menetapkan para perompak bersama keluarganya diperbolehkan tinggal sebagai penduduk Palembang, boleh hidup bersama penduduk setempat dan bebas berdagang. Namun, ketetapan tersebut memiliki satu syarat, mereka tidak boleh tinggal di daratan. Dengan rasa terima kasih, para bekas perompak itu membuat rumah mereka di atas rakit, ditambatkan di tepi Sungai Musi, mereka senang walau penduduk Palembang kemudian menamakan mereka “China Rakit” (Yass, 1996: 25).

Sebuah dusun di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang bernama “Pedamaran” ikut diidentikkan dengan sosok Arya Damar. Maka, terlihat tidaklah benar apabila seorang ahli sejarah seperti P. De Roo De La Faille berpendapat bahwa Arya Damar diusir dari Palembang karena “mengganggu istri orang” (Abdullah, dkk., 1991: 40).

Putri China juga dipercaya sebagai pemeluk Islam, kemungkinan ia turut memberi pengaruh dalam mengislamkan Arya Damar. Maka, anak-anak Arya Damar yang dibesarkan di Palembang juga dididik dengan nilai-nilai Islam. Setelah ketiga putranya (Raden Hasan, Raden Husin, dan Arya Menak Senoyo) dewasa, mereka meninggalkan Palembang untuk pergi ke Jawa. Raden Hasan setibanya di Jawa diberi nama Raden Patah oleh Raja Majapahit dan dianugerahi tanah di Bintoro yang kemudian berubah nama menjadi Demak Bintoro, Raden Patah turut bertempat tinggal di sana.

Sedangkan, Raden Husin oleh Majapahit dijadikan kepala Arya keraton dan namanya diubah menjadi Raden Tandaterung (Sadik, 2006: 61). Arya Menak Senoyo yang bukan putra langsung dari Brawijaya v seperti halnya Raden Patah dan tidak dilahirkan dari seorang bekas selir tercinta kakeknya seperti Raden Husin, tentu tidak mudah untuk memperoleh posisi seperti yang dianugerahkan kepada dua “saudaranya” itu. Berbagai versi pun berkembang tentang kehidupan Arya Menak Senoyo selanjutnya, yang mana putra Arya Damar itu pergi ke Madura. Ada yang meyakini bahwa ia memang berniat mendirikan tempat tinggal di Madura, ada pula yang percaya bahwa Arya Menak Senoyo sebenarnya hanya mengantarkan Raden Hasan dan Raden Husin ke Majapahit, tetapi karena ia ingin mendakwahkan Islam maka akhirnya dipilihlah Madura sebagai tujuannya.

Kemungkinan terkuat bisa diperoleh dengan melihat bagaimana sebelumnya Lembu Peteng yang juga saudara lain ibu dari ayah Arya Menak Senoyo diangkat sebagai seorang Kametowa di Madegan, hampir mungkin bahwa Brawijaya V turut menganugerahkan hak yang serupa bagi Arya Menak Senoyo atas tanah Madura dengan pertimbangan bahwa ayahnya yakni Arya Damar, telah memelihara bekas selir tercintanya serta memimpin Palembang dengan baik.

Setibanya di Madura, Arya Menak Senoyo membuka sebuah tempat baru, tidak jauh dari Pamelingan yang didirikan oleh keturunan Lembu Peteng yakni Arya Mengo. Parupuk, di masa selanjutnya disebut ‘Proppo’, adalah tempat yang dibangun oleh Arya Menak Senoyo. Cerita yang didasarkan pada kepercayaan masyarakat setempat tentang Arya Menak Senoyo masih terpengaruh oleh nuansa mistis. Popularitasnya cenderung mengarah kepada kultus sehingga sosoknya dipercaya telah menikahi peri dari kahyangan. Perannya dalam penyebaran Islam cenderung dilihat secara minor, padahal apabila latar kisah seputar pernikahan Arya Menak Senoyo dengan peri kayangan itu ditafsirkan lebih jauh, akan didapati sebuah rekonstruksi peran-peran yang telah dilakukannya dalam bidang pemerintahan maupun dakwah.

Nyi Tunjung Bulan adalah nama peri dalam kisah Arya Menak Senoyo yang alurnya tidak jauh berbeda. dengan cerita Jaka Tarub. Dikisahkan bahwa setelah Menak Senoyo mencuri pakaian Nyi Tunjung Bulan yang tengah mandi di sungai hingga peri malang itu tidak dapat kembali ke kahyangan, ia berhasil memperistrinya. Peri Tunjung Bulan kini tidak beda dengan manusia karena kekuatan gaib terletak di pakaiannya. Dari peri itu, Arya Menak Senoyo memperoleh seorang putra bernama Arya Timbul.

Suatu ketika, Nyi Tunjung Bulan berhasil memperoleh kembali pakaian yang memungkinkannya kembali ke kahyangan, ia pun pergi berpamitan pada suami manusianya (Arya Menak Senoyo) dan mencium putranya yakni Arya Timbul yang masih berusia dua tahun yang tengah terlelap untuk kemudian Tunjung Bulan terbang ke langit. Menurut Syamsul Ma’arif (2015: 65), kisah Arya Menak Senoyo menikahi peri adalah pencampuradukan antara sejarah dengan dongeng.

Tampaknya Menak Senoyo menjadi tokoh yang berusaha dihidupkan sisi melankoli-romantismenya melalui kisah ini sehingga versi ini diakhiri dengan kekecewaan Menak Senoyo di mana ketika Arya Timbul telah dewasa, ayahnya memilih kembali ke tanah asal ibunya di Lumajang. Cara yang dipakai Arya Menak Senoyo dalam versi ini-pun tidak biasa, ia dikabarkan pergi ke Lumajang dengan “melewati sebuah lubang pada pohon sukun yang kemudian ditutupi oleh seekor ulat”, secara gaib lubang itu mampu membawanya sampai ke tujuan. Adapun Arya Timbul tetap memilih tinggal di Madura dan tidak mengikuti ayahnya ke Jawa.

Hampir semua penulis sejarah Madura bersepakat bahwa dongeng serupa itu memiliki penafsiran yang lebih dapat diterima oleh akal sehat, atau setidaknya para penulis itu tetap menempatkan kisah pernikahan Menak Senoyo dan peri sebatas sebuah kepercayaan tradisional yang minim nilai historis.

Sulaiman Sadik (2006: 66) memberikan interpretasi otoritatif pada cerita Arya Menak Senoyo tersebut. Singkatnya, Sulaiman Sadik mengartikan bahwa istri Menak Senoyo yang disebut peri berarti Menak Senoyo sebagai seorang keturunan penguasa-petinggi Majapahit tentu tidak sembarangan memilih seorang istri maka ia menikahi seorang wanita cantik yang diibaratkan memiliki rupa seperti peri kahyangan.22 Perpisahan yang dramatis bernuansa kekecewaan tampaknya ditujukan untuk kepergian/wafatnya istri Menak Senoyo di saat yang tidak tepat yakni tatkala putra mereka, Arya Timbul, masih berusia dini/kecil.

21 Nama “Damar” tampak sangat ideal untuk masa itu serta memiliki makna yang protagonis. Nama tersebut bahkan juga dipakai untuk seorang tokoh lain yakni Damarwulan, tokoh roman yang berlatar era Kerajaan Majapahit dengan kisah kemenangannya melawan Menak Jinggo. Dalam bahasa Madura Damar disebut dengan Dhamar yang artinya adalah ‘lampu’ pada masa modern ataupun ‘penerangan’. Tampaknya nama Damar memiliki makna ‘cahaya yang terang. Oleh sebab itu, tidak jarang pula tokoh ‘Damarwulan’ dipercaya sebagai figur nyata dalam sejarah atau bahkan dikaitkan dengan sosok Arya Damar.

Tulisan bersambung:

  1. Para Penyebar Islam Awal di Madura
  2. Arya Menak Senoyo
  3. Syarif Husein Banyusangkah
  4. Bhuju’ Batuampar

Response (1)

  1. Pingback: Bhuju' Batuampar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.