“Lubang pohon sukun” yang dikisahkan menjadi jalan bagi Menak Senoyo memiliki arti bahwa ia memanfaatkan sungai di Proppo untuk sarana transportasi. Pohon sukun sendiri dikenal memiliki pola yang bagus, ringan, dan cukup kuat sehingga kerap digunakan sebagai bahan alat rumah tangga, konstruksi ringan, serta pembuatan perahu. Getah pohonnya bahkan bisa digunakan untuk menambal bocor pada perahu (www.djarum trees of life.org) diakses 13 April 2017). Koentjaraningrat ikut menuliskan tentang penggunaan kayu pohon sukun. dalam ritual Sundeng-upacara tolak bala orang Sangihe Sulawesi Utara-yang mana para tukang mengamb. kayu tipulu, sejenis pohon sukun, untuk membuat perahu Londe. Dengan populernya pemakaian kayu dari pohon sukun untuk pembuatan perahu di nusantara dan bahkan getahnya dapat dipakai untuk memperbaiki perahu maka bukan tidak mungkin bahwa Arya Menak Senoyo telah berusaha memajukan bidang pembuatan perahu serta galangannya-mungkin berkapasitas kecil-di Proppo.
Makna ulat dalam cerita itu berarti bahwa Menak Senoyo juga berhasil mengajarkan masyarakat yang ia pimpin untuk menenun kain. Kain ini bukan hanya bisa dipakai untuk pakaian saja, tetapi juga dapat dibuat menjadi layar perahu. Perkiraan ini didasarkan pada fakta bahwa kemudian Proppo dikenal sebagai penghasil kain tenun lokal sebelum dikenalkannya tekstil pabrikan industri modern di Pamekasan selain daripadanya juga berada di Pagendingan (Larangan) (Sadik, 2006: 66).
Interpretasi tersebut sangat menarik, mengingat Arya Menak Senoyo sebelumnya tinggal dan dibesarkan di Palembang. Kain songket adalah warisan tenun terbaik yang dimiliki masyarakat Palembang. Asal mula penemuan kain songket adalah dari adanya perdagangan Palembang (sejak zaman Kerajaan Sriwijaya) yang terletak antara China dan India. Orang Tiongkok menyediakan sutera, sedangkan orang India menyediakan benang emas, akibatnya lahirlah komoditas songket (Rapanie, 2010: 26).
Sebagai salah satu pelabuhan teramai pada abad ke-7 hingga ke-11, Sriwijaya yang terletak di Pantai Timur Sumatera Selatan menjadi tempat persinggahan pendeta-pendeta dari Sri Lanka dan India, kedatangan mereka dan juga para pedagang ikut memengaruhi ragam hias kain songket Palembang (Zumar, 2009: 7). Interpretasi yang paling mendekati kebenaran ialah pengalaman Arya Menak Senoyo selama di Palembang yang menyaksikan kemajuan teknik tenun, ikut berusaha menerapkan bidang ini di Proppo, Madura.
Meski terdapat ulat sutra, Madura tidak sestrategis Palembang untuk dengan mudah memperoleh benang emas. Selera yang dimiliki masyarakat Madura belum tentu sesuai dengan gaya songket di Palembang sehingga Arya Menak Senoyo cenderung hanya membina masyarakatnya dalam bidang menenun kain, bukan memproduksi songket.
Kepulangan Arya Menak Senoyo ke Jawa memuat sebuah kemungkinan atas motif lainnya. Jika memang interpretasi sebagaimana tersebut itu benar, lalu mengapa sekian banyak keberhasilan pemerintahan Menak Senoyo tidak membuatnya menetap di Madura hingga akhir hayatnya? Motif yang dimaksud tentunya ialah mengenai niat dakwah Islam. Walaupun Menak Senoyo ikut membangun langghar (musala) yang disebut sebagai Langghar Ghajam (Langgar Gayam) serta dakwahnya itu ikut menyebabkan masyarakat setempat membatalkan pendirian sebuah candi. Candi yang batal dibangun itu disebut sebagai Candhi Burung atau candi yang ‘urung’/ tidak jadi (Madura: burung) dibangun.
Namun, di tengah pencapaian itu, wilayah sekitar Proppo masih kukuh menganut agama Hindu-Buddha (Sadik, 2006: 67). Sudah disebutkan pula sebelumnya bahwa tidak jauh dari Proppo, Arya Mengo sebagai bangsawan non-Islam juga membuka wilayah Pamelingan, kemungkinan Nyi Tunjung Bulan adalah keluarga keraton Pamelingan.
Lebih jauh lagi, sejarah mencatatkan Arya Timbul, anak Menak Senoyo, bukanlah pemeluk Islam, demikian pula cucu Menak Senoyo yang bernama Arya Kudut bahkan cicitnya yakni Arya Pojok (anak Arya Kudut) tidaklah tercatat sebagai para penguasa Proppo yang memeluk Islam. Dengan kuatnya akar pra-Islam tersebut maka kisah Arya Menak Senoyo sebagai seorang bangsawan dan pendakwah justru dicorakkan dengan unsur mistis dalam kisah peri kahyangan Nyi Tunjung Bulan.
Kegagalan memperkenalkan Islam kepada keturunannya sendiri, menyebabkan akumulasi kekecewaan yang membuat Arya Menak Senoyo menjadi tidak betah. Serupa dengan Lembu Peteng yang tidak kembali ke Madegan hingga wafatnya, Arya Menak Senoyo juga tidak wafat di Proppo, meski keduanya adalah bangsawan tinggi Majapahit yang berwenang di Madura. Kelihatannya Lembu Peteng yang tidak kembali ke Madegan lebih dikarenakan kesadarannya bahwa religi Hindu-Buddha masih kental di Madura.
22 Pujian bagi kecantikan wanita sebelumnya turut menonjol dalam kisah Potre Koneng.
Tulisan bersambung:
_____________________________________
Tulisan ini dinukil dari buku “Sejarah Tanah Orang Madura”, Penulis Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, Penerbit Leutika, Januari 2018, halaman 89 – 96
Response (1)