Oleh Khairul Umam
Sekitar abad ke-16, disinyalir bersamaan dengan pemerintahan Pangeran Lor II, hiduplah seorang Kiai yang bernama Mahfud dan dijuluki Gurang Garing. Dia adalah sosok yang alim dan berwibawa. Dia keturunan kelima dari Sunan Kudus atau keturunan ketiga dari Sayyid Baidlawi Katandur. Dia hidup di sebuah tempat terpencil di sebelah timur laut, Sumenep. Jaraknya sekitar 12 kilometer dari pusat kota kabupaten.
Tempat itu begitu asri. Pohon kelapa yang tumbuh tinggi dengan janur melambai gontai, pohon pisang yang tumbuh berjejeran membentuk barisan, dan pohon-pohon lain yang juga ikut menghias lingkungan menambah suasana sejuk dan membuat setiap orang yang datang rindu untuk kembali bertandang. Di pagi hari udara begitu sejuk. Beraneka burung beterbangan, hinggap di dedahan lalu berkicau. Tak ada yang mengganggu mereka. Bukan karena tak ada pemburu yang selalu siap siaga dengan ketapel kayu di tangan dan sudah cekatan memburu mangsa. Namun, kewibawaan Kiailah yang mampu meredam gairah memburu mereka.
Kicau burung-burung semakin nyaring. Tak hanya di dedahan. Beberapa dari mereka tak jarang turun ke tanah basah yang dipenuhi ulat-ulat daun yang sudah lama gugur dan mulai membusuk. Mereka mencari makan dengan membolak-balik daun-daun. Sesekali terlihat mencakar-cakar tanah yang masih basah. Setelah puas, mereka kembali terbang dan bermain di dedahan. Sesekali masih berkicau.
Dari beranda musalla, dengan posisi bersila dan sebuah kitab di pangkuannya, Kiai Mahfud melihat semua peristiwa itu dengan takjub sambil tak lupa melafal tasbih kepada Allah atas kebesarannya yang telah menciptakan dunia dan isinya begitu sempurna. Saling melengkapi dan saling membutuhkan. Setelah menyaksikan segala rangkaian yang membuatnya tak henti melafal tasbih, dia kembali fokus pada pelajaran dan santrinya yang sudah sejak tadi menunggu dengan duduk bersila sambil menundukkan wajah menekuri kitab menunggu dimaknai dan dikaji.
“Hidup ini harus saling memberi. Kita hidup tidak sempurna, maka harus saling melengkapi.” Itulah kalimat pertama yang sudah pasti sangat dihafal hampir semua santrinya ketika mengaji di pagi hari.
“Maka, kuncinya harus rukun. Nah, rukun itu tidak hanya berlaku bagi kita sesama manusia. Makhluk Allah itu terlalu banyak untuk disederhanakan hanya pada manusia. Ada hewan, mereka pun banyak jenisnya. Ada tumbuhan, yang ini juga jenisnya tak kalah melimpah. Ada alam semesta yang berupa tanah, batu, air, udara dan sebagainya.” Sampai di sini Kiai Mahfud menghentikan penjelasannya. Dia mengambil napas sebentar dan memperbaiki posisi duduknya yang mulai terasa tak begitu nyaman.
ijin mengambil sedikit informasi dari website saudara sebagai kebutuhan pembuatan buku terkait sejarah Desa Lombang sendiri
Silakan