Di tempat terpencil itu, yang kemudian diberi nama kampung Lambi Cabbi, dia hidup sebagaimana seorang santri. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk mengabdikan diri pada ilmu agama. Semakin hari santrinya terus bertambah. Santri yang dinyatakan lulus pun juga terus bertambah. Mereka pulang ke kampungnya masing-masing. Di sana mereka mempraktikkan ilmu agama yang telah diterimanya selama di pondok. Namun, tak semua kabar itu baik. Beberapa kabar buruk juga datang silih berganti.
Diceritakan, di sebuah pesisir utara yang terletak sekitar 12 kilometer dari tempat Kiai Mahfud tinggal, ada sebuah pelabuhan besar tempat pedagang dari berbagai daerah di Nusantara atau pun dari benua lain bertandang dan melakukan transaksi. Setiap hari pelabuhan itu selalu sibuk. Ia terus berdetak berpacu dengan irama pedagang yang semakin hari terus berdatangan dari berbagai daerah dekat atau pun jauh.
Tak jarang para pelancong memilih menetap dan menikah dengan penduduk sekitar. Kemudian mereka mendirikan tempat tinggal permanen hingga terciptalah perkampungan di balik debur ombak yang seolah-olah memanggil rezeki setiap hari.
Di pesisir yang telah menjadi pusat ekonomi bagi warga dan pedagang yang datang dari luar daerah, mereka hidup begitu makmur. Kegersangan pasir tandus dan hamparan pasir yang jarang tetumbuhan mampu hidup di sana, bukanlah suatu petaka dan pertanda buruk. Semua kebutuhan hidup dari pangan, sandang, papan telah tersedia. Perputaran uang begitu deras dan merata. Hidup masyarakatnya cukup bahagia.
Namun, kebahagiaan yang datang silih berganti dan kemakmuran masyarakat telah begitu melenakan mereka. Mereka telah lupa cara bersyukur. bermulalah malapetaka itu datang menimpa.
Pada awalnya, mereka hanya suka berkumpul di malam hari sambil ngerumpi banyak hal. Mulai dari yang sangat tidak penting sampai sesuatu yang berkaitan dengan bisnis. Mereka nongkrong di warung-warung warga yang menyediakan kopi dan beberapa makanan ringan pengganjal perut.
Malam merupakan pilihan satu-satunya berkumpul karena hanya saat itulah mayoritas kegiatan ekonomi penduduk terhenti. Bagi mereka malam adalah waktu yang tepat untuk beristirahat dari segala penat yang telah tumpah seharian penuh. Berkumpul adalah cara terbaik untuk saling berbagi setelah seharian berpencar mencari nafkah mungkin saja bersitegang saling mempertahankan gengsi di hadapan pembeli yang datang dari jauh.
Entah siapa yang pertama kali membawa ke kota pesisir itu. Tiba-tiba saja permainan judi telah mulai ramai. Hampir bisa dipastikan mereka yang berkumpul di sebuah warung sedang ngerumpi dan bermain judi. Waktu berkumpul pun telah berubah 180 derajat. Mereka tak hanya menghabiskan separuh malam bahkan sepenuh malam mereka harus melek demi memenangkan permainan. Mereka yang menang harus terus menjaga kemenangannya hingga yang lain menyatakan takluk dan menyerah untuk bertanding lagi.
ijin mengambil sedikit informasi dari website saudara sebagai kebutuhan pembuatan buku terkait sejarah Desa Lombang sendiri
Silakan