Sejak saat itu, warung-warung bertahan hingga semalam suntuk. Keramaian itu menjadi pemandangan lain di malam hari. Siang mereka sibuk mencari rezeki untuk tetap bertahan hidup dan menumpuk harta, malam harinya mereka bertaruh untuk lebih kaya lagi. Tak ada yang peduli jalan yang mereka tempuh. Terpenting adalah keuntungan. Meski sebenarnya permainan itu lebih banyak membuat mereka kalah, namun janji kemenangan yang menggiurkan jauh lebih menarik perhatian kaum laki-laki yang sedang berkumpul.
Untuk dapat bertahan hingga sepenuh malam dan besoknya harus kembali bekerja lebih keras, maka mereka mulai terbiasa minum minuman keras yang sudah mulai tersedia di beberapa warung. Bagi warung-warung yang bertahan tidak menjualnya biasanya mereka mulai sepi pelanggan. Mau tak mau harus juga menyesuaikan sehingga penjualan minuman keras sudah menyebar ke seluruh kota pesisir itu.
Pada awalnya, beberapa santri Kiai Mahfud yang tingal di sana masih bersikukuh mempertahankan ilmunya dan berani mengatakan tidak pada kebatilan. Mereka memilih diam di rumah di malam hari dan hanya keluar pada siang hari. Mereka masih sering membaca kitab-kitab yang pernah dikaji di pondok dulu. Mereka pun masih mengerjakan salat malam dan bermunajat kepada Allah meski berbagai cibiran mulai datang menghunjam dan menekan.
“Ah, sok alim.”
“Anak bhuru teddhãs (istilah lain dari anak bau kencur) sudah berulah.”
“Jangan jaimlah. Ayo, ikutan saja! Kami tidak melarang, kok. Malah kami akan lebih senang karena tambah ramai.”
“Hahaha.”
Pelan-pelan tapi pasti ocehan-ocehan yang datang bertubi di berbagai tempat membuat hati beberapa santri dari Kiai Gurang Garing ciut. Mereka mulai tak enak jika dilihat sedang beribadah dan membaca kitab. Jumlah mereka yang tak seberapa memang tak bisa berbuat apa-apa. Maka, mereka memilih untuk beribadah dan belajar sembunyi-sembunyi. Malam hari beberapa dari mereka memilih bergabung sepanjang malam bersama warga kota pesisir itu.
Awalnya hanya bermaksud menghilangkan prasangka. Namun, ketika mereka mulai masuk dan berkumpul bersama, tarikan untuk mengikuti irama dan ritma masyarakat sekitar kian menguat. Dan hal yang tak diinginkan terjadilah. Mereka mulai mencoba meminum arak sedikit demi sedikit dan bermain judi sesekali. Kebiasaan yang dipupuk terus menerus dan didukung oleh lingkungan yang kuat akhirnya memaksa mereka sama sekali lupa akan kesantrian mereka. Jadilah mereka bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat yang berubah itu.
ijin mengambil sedikit informasi dari website saudara sebagai kebutuhan pembuatan buku terkait sejarah Desa Lombang sendiri
Silakan