Pertempuran terjadi didesa- desa kecamatan Camplong. Pasukan Madura mengalami kekalahan hebat sehingga terpaksa kembali ke daerah Batubesi. Raden Djojopramina, Wasing sari dan Djojosudiro memohon kepada Raden Tumenggung Sosrodiningrat dan Ronodiningrat supaya beliau-beliau jangan berdiri di garis depan pertempuran ,sedangkan mereka bertiga akan terus menembus pertahanan musuh dan tidak akan takut mati, karena mereka bertiga tidak suka melihat Madura kalah lebih baik mereka mati sebelumnya, dan mereka bertiga telah cukup menerima penghargaan dan kebijaksanaan dari Pangeran Tjakaningrat IV sehingga mereka tidak cukup dengan membalas budi biasa saja. Maka kedua orang Tumenggung bersaudara itu membalas dengan perkataan bahwa matahari tidak akan terbenam sebelum waktunya dan tetap berdiri digaris depan pertempuran
Tiba-tiba Raden Djojopramia dan Raden Djojosudiro dengan pasukannya menyerbu kemuka melalui dua orang Tumenggung tadi, sedangkan Raden Wasingsari menyerbu di belakang kedua pasukan tadi.Dua orang Tumenggung itu terus juga menuntut dari belakang ikut menyerbu. Dengan demikian pasukan-pasukan kompeni Belanda ,sumenep dan pemekasan mengalami kekalahan dan menyingkir kesebelah timur dengan terus dikejar oleh pasukan Madura Barat.
Di dalam pasukan sumenep ada seorang sanak keluarga Bangkalan bernama Raden Purwokusumo yang dulu pernah di buat malu oleh Raden Djojopramia. Ia (purwokusumo) ikut memimpin pasukan sumenep ingin membalas dendam kepada Djojopramia. Maka Raden Djojopramia dan Djojosudiro di dalam keadaan amat lelah mendapat serbuhan dari tenanga baru yang di pimpin oleh Raden Purwokusumo tidak dapat mempertahankan diri sehingga mereka berdua gugur didalam pertempuran itu.
Leher dari kedua Raden itu di potong dan kepalanya di bawa kepada pengeran Tjogronegoro sumenep, kepala-kepala mana menggigit bibir bawahnya dengan kumisnya kelihatan masih tegak. Setelah tentara Sumenep melihat kedua kepala tadi mereka sama-sama berteriak : “kepala dua orang pemimpin pasukan Madura telah datang”, Maka orang-orang yang mendengar suara teriakan itu sama-sama melarikan diri bercerai-berai kerena menyangkan bahwa dua orang pemimpin Madura itu mengamuk juga, Pangeran Tjokronegoro melarikan diri. Maka setelah di ketahui orang yang sebenarnya itu dua kepala telah tidak ada tubuhnya barulah mereka kembali dari tempat pelariannya. Yang demikian itu di kemudian menjadi buah bibir, bahwa Raden Djojopramia dan Raden Djojosudiro setelah matinya masih mengamuk kepada musuhnya.
Alhamdulillah menemukan sejarah Kerato Sembilangan. Menurut info dari om saya dari pihak mbah putri, ayah saya adalah ada darah keturunan raja raja keraton Sembilangan. sebenarnya semua keturunannya berhak menggunakan gelar Raden Panji atau Raden Mas seperti umumnya keturunan raja raja umumnya, namun karena setiap keturunan keraton Sembilangan yang menggunakan gelar gelar tersebut pasti dibunuh oleh Belanda, maka lebih baik tidak digunakan. Itu info dari om saya yang menceritakan sejarah keturunan keluarga saya.