Melemahnya Kerajaan Majapahit
Jawa adalah wilayah yang banyak memberi pengaruh kepada perpolitikan Madura. Pengaruh itu kian kuat terasa sejak kekuasaan Singasari yang kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit. Pada bagian sebelumnya diungkapkan tentang banyaknya peran orang Madura dalam peradaban Majapahit di Pulau Jawa. Dinamika kehidupan berbangsa Kerajaan Majapahit tidak menjamin bahwa Madura akan selalu dalam perhatian Jawa sebagai otoritas politik induknya. Tidak jarang juga terjadi pengabaian kepada Madura, tetapi tatkala sebuah momentum muncul, peran Madura kembali hadir seperti dalam kisah Joko Tole.
Bagaimanapun dominasi Jawa atas Madura untuk memberi pengaruh dalam bermacam-macam aspek memang tidak dapat dinafikan. Kurang lebih setengah abad setelah pasukan Madura yang telah dilatih oleh Raden Wijaya berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mengusir pasukan Mongol keluar Pulau Jawa, Majapahit memiliki seorang pemimpin yang cakap. Penguasa Majapahit itu tentunya adalah seorang raja yang terkenal dan sangat diingat hingga kini yaitu Hayam Wuruk. Kepemimpinannya selalu disandingkan dengan seorang Mahapatih bernama Gajah Mada yang terkenal Hayam Wuruk naik tahta sebagai seorang Raja Majapahit keempat dengan gelar Sri Rajasanegara (1350 1389). Masa pemerintahan Hayam Wuruk merupakan zaman keemasan dan kebesaran Majapahit.
Kerajaan yang dipimpin oleh Hayam Wuruk dapat disamakan (luasnya Pen) dengan Indonesia sekarang, ditambah “Kalimantan Inggris” * (Pringgodigdo & Shadily, 1977: 652). Keagungan masa pemerintahan Hayam Wuruk tentu tidak lepas dari peran Gajah Mada. Secara jujur, meski dihormati sebagai seorang tokoh pemersatu-kemudian hari di masa modern menjadi sebuah role model untuk “prototipe” bagi persatuan Indonesia-lewat Sumpah Tan Amukti Palapa yang kemudian membawa Majapahit menguasai Nusantara, Gajah Mada tidak kalah “ekspansionisnya” ** dengan Kertanegara melalui Ekspedisi Pamalayu yang pernah dilancarkan sebelumnya.
Setiap peradaban harus belajar tentang baragam pengalaman silam untuk mendapat kebijaksanaan dalam langkah-langkah berikutnya mengenai bidang apa pun. Majapahit sebenarnya dapat mengingat lagi bagaimana perang penaklukan wilayah kepulauan, dahulu pernah menjadi salah satu alasan melemahnya militer Singasari yang bahkan tidak mampu menanggulangi serbuan Jayakatwang akibat prioritas konsentrasi militer untuk penyerangan lintas wilayah. Hal ini malah melemahkan Kertanegara di ibu kotanya sendiri.
Ekspansi wilayah Majapahit di bawah komando Gajah Mada tentu memaksa Majapahit memakai kekuatan militer (secara besar-besaran) dalam invasi-invasi ke seluruh wilayah nusantara. Kisah penyerangan Gajah Mada ke beberapa wilayah di Sumatera diikuti kekejaman berupa pembunuhan, penjarahan, dan pembakaran, yang umumnya hanya ditanggapi “biasa saja” oleh para sejarawan (Mashad, 2014 109) Walaupun Hayam Wuruk tidak bernasib nahas seperti Kertanegara, hingga akhir kekuasaannya ia tetap menyaksikan kebesaran dari luasnya kerajaan yang ia pimpin, tetapi pengerahan kekuatan militer atas wilayah yang luas tetap menghabiskan banyak sumber daya Majapahit, belum lagi keharusan untuk mengatur wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan.
Kehebatan Hayam Wuruk (meskipun sebagian besar melalui bantuan Gajah Mada) akhirnya memperkuat predikatnya sebagai raja, secara mendasar juga ditopang oleh sebuah konsepsi dalam agama Hindu. Konsep yang dimaksud adalah tentang “Devaraja” yang meyakini bahwa raja adalah reinkarnasi-tepatnya adalah sebagai “penjelmaan” ragawi Dewa atau sesembahan dalam agama Hindu. Akhirnya, Hayam Wuruk dalam dinasti di Pulau Jawa (Majapahit) tidak hanya dianggap sebagai seorang raja, tetapi juga jelmaan “Dewa” (Osman (Ed.), 1985:62).
Kebesaran Majapahit warisan Hayam Wuruk menjadi amanat bagi para penerusnya, sedangkan Gajah Mada tetap dihargai sebagai pemersatu yang (terkadang dicibir) seolah terpaksa saja harus menjarah demi kebesaran Majapahit: dominasi etnisitas Jawa ikut menyebar bahkan lebih jauh dari sekadar Pulau Madura.
Majapahit berhasil mencapai kejayaan yang tidak pernah mereka raih sebelumnya. Ketangguhan armada Majapahit segera menyebar dan dengan itu disebutkan tersebut Majapahit akhirnya sangat kegemilangan untuk kemudian tidak pernah bangka Seperti banyak dalam banyak kerajaan kericuhan banyak berkisar sekitar (hak) mahkota dalam memilih pewaris kerajaan) luasnya berbelitnya dalam keluarga yang cepat membesar (Pringgodigdo Shadily, 652).
Perluasan wilayah taklukan biasanya diikuti perkawinan politik kekuasaan sebuah keluarga dinasti ingin melanggengkan kekuasaan otoritasnya memerintah, terlebih saat dipimpinnya meluas membentuk Selain jarang terjadi pula antar selir untuk menghantarkan pangeran/anak-anaknya mesaju takhta maupun perseteruan antara (kandung ataupun tiri) dapat memperkeruh perpolitikan istana yang berujung kepada intrik kotor. lumrah terjadi dalam sebuah sistem absolut.
Sepeninggal Hayam Wuruk Gajah titik dari menyusutnya kekuatan Majapahit ditandai terjadinya Perang Paregreg adalah perang saudara antara Wikramawardhana menantu Hayam menikahi Kusumawardhant (seorang putri/anak dari permaixuri) melawan Wirabhumi (anak Hayam dari selir) yang diangkat anak oleh Daha Hayam Wuruk) dan memerintah timur Awal muls Perang Paregreg antara kedua belah pihak (Wikramawardhana dan Wirabhumi) 1401.
Wirabhumi/Bhre Wirabhumi memilih memberontak kepada Wikramawardhana karena ia merasa berhak atas tahta Majapahit. Klaim Wirabhumi diperkuat dengan fakta bahwa Wikramawardhana yang sesungguhnya hanya mendampingi Kusumawardhani sebagai pewaris sah kekuasaan justru malah banyak memengaruhi (ikut campur) pemerintahan istrinya dan akhirnya malah mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa Majapahit. Tiga tahun kemudian (1404) pecah perang terbuka antara Wikramawardhana yang tak lain adalah ipar Bhre Wirabhumi sendiri. Perang saudara ini berlangsung selama dua tahun hingga 1406.
*. Wilayah yang dimaksud ialah termasuk wilayah pulau Kalimantan yang di masa modern berada di bawah kolonialisme Inggris (Serawak dan Sabah sebagaimana sebagian lainnya ialah daerah-daerah Kalimantan yang dikuasai oleh Kolonial Belanda dan menjadi bagian dari Republik Indonesia
**. Bung Karno turut mengakui ini dalam pledoi pembelaannya di pengadilan kolonial pada 18 Agustus 1930 bahwa apa yang dilakukan oleh Majapahit adalah tindakan imperialisme
“Ia imperialisme-Pen) kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menduduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris kita dapatkan dalam nafsu Kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan senegen semenanjung Malaka menaklukkan Kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Cempaka kita dapatkan dalam nafsu Kerajaan Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua Kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan dari Sumatera sampai Maluku” (Tona, 2008 14)