Dari berita Pararaton diatas, kita ketahui bahwa Arya Wiraraja adalah seorang Adipati di Sumenep, yang sebelumnya sebagai Demung (Rakryan Demung). Hal ini disebabkan oleh ketidakpercayaan Kertanegara kepadanya. Bila kita dasarkan pada sumber sejarah yang ada, maka nampaknya pemecatan Arya Wiraraja itu erat kaitannya dengan pelaksanaan politik nusantara dari Kertanegara, yang bersifat ekspansionis. Suatu politik pembaharuan yang berusaha meninggalkan paham politik tradisional yang telah dianut semenjak raja Airlangga, yang hanya berkisar pada Janggala – Panjalu (Casparids, 1970). Sebagai paham baru tentunya akan mendapat tantangan dari para penganut paham lama.
Untuk realisasi politiknya tentunya wajar bila Kertanegara tidak segan-segan menyingkirkan para pembesar yang merintanginya dan menggantikannya dengan tokoh-tokoh yang mendukung paham politiknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemecatan Mpu Raganatha sebagai Amangkubumi, pemecatan Tumenggung Wirakerti sebagai Tumenggung. Dan terjadinya pemberontakan Kelana Bhayangkara (Cayaraja) seperti dilaporkan Kidung Panji Wijayakrama (pupuh I), Kidung Harsawijaya dan Nagarakartagama pupuh XLI/4 (Mulyana: 1979, 103-104). Dalam kerangka berpikir demikian, dapatlah kiranya dimengerti alasan pemecatan Arya Wiraraja.
Sebagai Adipati di Sumeneép, tidak banyak berita yang kita ketahui, kecuali hubungannya dengan Jayakatwang, raja Gelang-gelang dalfam pemberontakannya terhadap Kertanegara, dan hubungan dengan R. Wijaya, dalam hal pendirian Kerajaan Majapahit. Tetapi mungkin dapat dipastikan bahwa Arya Wiraraja adalah seorang negarawan yang ulung, strategi politik yang lihai, dan seorang yang ambisius. Sehingga dapat dikatakan, Sumenep pada masa pemerintahannya mengalami kemajuan yang pesat dan memiliki pengaruh yang besar terhadap rakyat.
Hal inmi terbukti dari kemampuannya mengerahkan laskar Madura di dalam membantu R. Wijaya membuka hutan Tarik yang merumpakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit, dan didalam membantu R. Wijaya mengusir tentara Tartar Cina pada tanggal 31 Mei 1293 M (Kodya Tk. II Surabaya, 1975). Dan dapat diperkirakan pada masa pemerintahan Adipati Arya Wiraraja di Sumenep yang berlangsung antara tahun 1270 – 1275 M (saat Kertanegara diangkat sebagai Raja Singasari dan sebelum ekspedisi Pamalayu) sampai tahun 1294 M (diangkatnya Arya Wiraraja sebagai Rakryan Mentri Mahapramukha, seperti disebutkan dalam P. Kudadu), jadi sekitar 25 – 30 tahun, pusat pemerintahannya berada di Batu Putih.
Setelah Wiraraja berada di Majapahit (sampai tahun 1295 M), pemerintah di Sumenep diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah. Pusat pemerintahannya dipindah Re Benasareh. Setelah itu Arya Bangah diganti lagi oleh putranya Arya Danurwenda, yang bergelar Lembusuranggono, dan keratonnya dipindah ke Tanjung. Setelah wafat kekuasaannya diserahkan kepada putranya Panembahan Joharsari. Selanjutnya kepada puteranya Panambahan Mandaraka, kadipatennya dipindahkan lagi ke Keles. Sepeninggalnya Kerajaan Sumenep dibagi menjadi 2. Pertama dipimpin oleh Pangeran Bu-Kabu (Notoprodjo), dan kedua oleh Pangeran Baragung (Sumber Agung).
Apa yang menyebabkan pembelahan kerajaan tersebut, disebutkan oleh Babad agar tidak terjadi perebutan kekuasaan yang dapat menimbulkan perpecahan didalam keluarga kerajaan tersebut. Alasan ini tak dapat dibandingkan dengan pembelahan kerajaan yang dilakukan raja Airlangga, sekitar tahun 1942 M (Mulyana; 1979, 28-44).