Bagi Orang Madura, Toron Bukan Sekedar Mudik  

Toron merupakan tradisi mudik yang dilakukan oleh warga Madura perantaun dalam menyambut lebaran atau hari raya idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun toron cenderung lebih banyak dilakukan pada saat Idul Fitri. Toron secara harfiyah berarti “turun”. Maknanya, mereka turun untuk kembali kepada haribaan tanah kelahiran setelah satu tahun hidup di lingkungan perantauan.

Mengapa lebaran atau Hari Raya Idul Fitri menjadi pilihan? Sebagaimana warga etnis muslim lainnya mudik juga menjadi pilihan yang tak terelakkan, karena saat inilah suasana cukup memungkinkan untuk berkumpul kembali bersama sanak keluarga, lingkungan tetangga maupun para kerabat.

Namun bagi warga Madura, toron punya makna khusus yang barangkali sangat berarti, karena sebagaimana diketahui, orang Madura sangat lekat dengan dunia rantau dan cukup besar ekspansinya ke luar wilayah Madura dan hampir menyebar  se antero negeri.

Dengan etos kerja yang mereka emban, orang-orang Madura rantau mampu beradapsi dengan cara mereka, usaha informal sebagai pedagang, dan layanan jasa menjadi lahan yang paling banyak dilakukan. Prinsip tekun bekerja dalam usaha apa saja, menjadikan orang Madura tidak sedikit yang sukses.

Toron meski berarti “turun” buka bermakna turun dari atas atau turun ke bawah. Meski kebalikan kata “toron” atau “turun” adalah “naik” atau “ongghâ”, karena orang Madura tidak mengenai kata “naik” atau “ongghâ” hubungannya dengan merantau. Tapi untuk berangkat merantau disebut alajar atau berlayar. Memang pada jaman dulu perjalan ke luar Madura semuanya bergantung melalui perjalanan laut, yakni berlayar, dan biasanya makan waktu berhari-hari untuk mencapai tanah rantau.

Berlayar bukan sekedR menyeberang laut lintas pulau, tapi dalam proses itu ada perjuangan yang harus diembannya, yakni tantangan di laut dengan segala resikonya. Dari tantangan itu kemudian dikenal ungkapan Madura “abhântal omba’, asapo’ angèn” (berbantal ombak berselimut angin), yang dipahami sebagai bentuk perjuangan di tengah laut. Jadi, bila dikaitkan dengan tradisi toron sangat lekat dan barangkali dari sinilah toron menjadi bentuk tradisi bagi masyarakat Madura rantau. Kultur Madura lekat dengan dunia  rantau, karenanya dekat pula dengan tradisi mudik, tradisi pulang ke kampung halaman, ke pulau Madura.

Toron Buka Sekedar Mudik.




Baca:  Tradisi “Toron” Nilai Solidaritas Persaudaraan Warga Madura

Apakah toron selalu bersamaan dengan saat menjelang lebaran? Tentu tidak. Sebagai mana penjabaran sebelumnya, toron bisa dilakukan saat Hari Raya Idha atau “telllsan reaja” hari raya besar dan saat peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Dan disitulah letak perbedaan dengan mudik, yang selama ini mudik hanya dipahami saat menjelang lebaran Idul Ftri.

Memang  istilah toron sendiri ada yang berpendapat dan terkait dengan mitos dalam Babad Madura, yang diangkat dari kata “madhura” yang berasal dari “lemah hhuro” atau tanah “dhuro”. Sedang ‘dhuro’ sendiri berarti antara ada dan tiada. Istilah ini dipahami sebagai gundukan pulau (Madura) yang tampak  timbul dan tenggelam ketika diperhatikan dari jauh, sebagai efek dari ketinggian tanah diukur dari permukaan air laut, sehingga tampak ketika air laut surut, dan hilang ketika air laut pasang.

Pendapat lain menyebut, bahka hakikat toron pada intinya kembali pada yang terendah, yakni sujud keharibaan orang tua. Konon pada jaman dulu, ketika warga Madura toron setelah sekian lama di perantauan, sesampai di rumah, yang dicari pertama kali ibu dan bapak, dan selanjutnya mereka bersujud di hadapan kedua orang tua dengan rasa dalam posisi rendah. Hal ini terkait bahwa “surga berada di telapak kaki ibu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.