Zawawi Imron
Manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Allah. Di antara kemuliaan manusia itu karena manusia dianugrahi akal pikiran. Dengan akal ini manusia menjadi berbeda dengan binatang. Jika binatang berbuat hanya berdasarkan naluri, manusia berbuat berdasarkan akal sehatnya, dengan mempertimbangkan baik dan buruk, benar dan salah dan lain-lain.
Akal sehat itulah yang berfungsi sebagai alat untuk menemukan keselamatan dan kebahagiaan sejati. Dengan akal itulah manusia menciptakan tatanan hidup yang tertib dan teratur agar tidak terjadi benturan antara manusia yang satu dengan yang lain (chaos). Itulah yang disebut moral, kesusilaan untuk menjaga harmoni dalam kehidupan di dunia ini. Moralitas, pola-pola tingkah laku itu akan dipertanggungjawabkan seorang manusia kepada manusia lainnya sebagai makhluk sosial.
Dengan moral dan budi pekerti saja agaknya belum cukup, Allah masih mengutus seorang Rasul untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku diutus (Allah) semata-mata untuk menyempurnakan akhlak”. Akhlak ialah perilaku susila manusia yang berangkat dari qalbu dan kesucian jiwa karena adanya kesadaran transendental. Manusia berbuat dan bertindak dengan niat melangkah di atas jalan “shirathal mustaqim” karena setia kepada aturan-aturan Allah. Jika moral dipertanggungjawabkan kepada manusia, akhlak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah.
Dengan demikian, antara moral dan akhlak bisa bertemu dan lebur menjadi satu karena keduanya akan menjadi cermin kemuliaan manusia. Dalam filosofi orang Madura ada adagium: abantal syahadat asapo’ iman, yang menjadi dasar dari semua tindakan yang menuju keselamatan. Kearifan lokal Madura sangatlah mengutamakan “tatakrama”. Adagium Madura mengatakan: “tatakrama reya cong, pada bi’ pesse Singgapur, ekabalanja’a e dimma bai paju”.