Ungkapan “Kennengganna kennengge”, bukan sekedar ajaran menempati tempat yang dimiliki, tetapi lebih bermakna pada posisi yang ditempati sesuai dengan kapasitas seseorang. Untuk itu seorang keponakan tahu kepada “majadi”, seorang pemimpin tahu betul hati rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini kearifan lokal Madura menawarkan konsep ”andhap asor”, yaitu sikap “rendah hati” berhadapan dengan siapapun. Kerendahhatian yang didapat dari penghayatan dan rasa taqarrub kepada Allah akan membuat seseorang ingin menghormati orang lain secara layak dan wajar. Dari sinilah kerukunan dan kebersamaan terbina, sehingga sikap ere (iri), denggi, duriya, tama’, acethak duwa’, bellu’ abunto’ are’, dianggap sikap yang memalukan dan merendahkan martabat.
Dalam era otonomi daerah, kearifan lokal yang pernah menjadi kekayaan satu daerah, perlu direvitalisasi untuk membentuk karakter dan sikap hidup yang akan menjadi identitas dan jatidiri masyarakat di satu daerah.
Kearifan lokal sebagai warisan tradisi perlu dipertimbangkan baik buruknya, untung dan ruginya. Menurut WS. Rendra, tradisi yang tidak sesuai dengan zaman perlu ditinggalkan, sedangkan tradisi yang masih memberi vitalitas kepada kehidupan perlu dipelihara dan dikembangkan menuju hari esok yang lebih cemerlang. Mengomentari ungkapan WS. Rendra tersebut, Ignas Kleden menyarankan adanya upaya, mengolah tradisi dengan cara tidak tradisional. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih: “Al-Muhafazhatu ‘alal qadimis shaleh, wal akhdzu bil jadidil ashlah” memelihara yang lama yang masih baik, dan mencari yang baru yang lebih baik.
Kearifan lokal Madura (Sumenep) bisa dicari pada:
- Pribahasa :
Pribahasa (parebasan) Madura banyak mengandung ajaran budi pekerti. Misalnya: mon etobi’ sake’ ja’ nobi’an oreng, mon sogi pasoga’, mon bagus pabagas, mon kerres paakerres, dan lain-lain.