Yang dikhawatirkan, ialah pendidikan modern yang tak mendidik dengan “etos kerja” jelas; di samping kurikulum yang hanya berorientasi pada teori, bisa mungkin hanya akan menghasilkan manusia yang SDM-nya lemah, yang tidak mampu untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, justru hanya akan menjadi pencari kerja. Yang sangat mendesak, ialah adanya pendidikan yang berorientasi kepada gairah kerja dengan kemampuan (skill) yang jelas.
Tertundanya industrialisasi Madura yang dicanangkan sejak pertengahan dekade ini, baik karena keraguan investor, kekhawatiran sebagian tokoh dan ulama Madura terhadap efek samping industri yang kadang kurang manusiawi, agaknya telah membawa hikmah tersendiri.
Misalnya, agar putra-putra Madura pada zaman mendatang lebih siap untuk berperan dalam mengolah tanah kelahirannya dengan pola yang sesuai iklim modern, tapi sesuai pula dengan kebutuhan pokok orang Madura.
Menurut Ir Sulaiman, anggota MPR RI, pembangunan industrialisasi di Madura menghadapi dua pilihan, yaitu antara “membangun Madura” dengan “membangun di Madura”. Jika memilih “membangun di Madura”, Madura hanya akan dijadikan lokasi atau tempat, dan hasilnya belum tentu sebagian besar dinikmati oleh orang Madura.
Sedangkan “membangun Madura”, Madura bukan sekadar menjadi tempat, tapi manusia Madura juga dibangun SDM-nya serta diberi kesempatan untuk menentukan arah pembangunan itu, sehingga orang Madura tak akan menjadi manusia-manusia marginal di tanah kelahirannya sendiri.
Dengan demikian, pembangunan Madura sangat memberikan harapan bagi masa depan masyarakat Madura, karena orang Madura diberi hak untuk menentukan harga tanah yang akan dijadikan lokasi, dan punya hak menolak hal-hal yang bisa mencemari nilai-nilai spiritual dan kultural masyarakat Madura. Dengan demikian, pembangunan berjalan dalam iklim demokratis, dan melegakan hati semua pihak.
‘Selamat Datang’
Industrialisasi memang menjadi bagian penting dari kebudayaan modern, dan orang Madura akan mengucapkan “selamat datang” kalau itu akan bermanfaat bagi masyarakat Madura. Tapi, itu tidak berarti seluruh Pulau Madura harus diserahkan (dijual) untuk kepentingan industri, sehingga mengakibatkan orang Madura tak memiliki apa-apa, kecuali kemampuan untuk menjadi hamba bagi industrialisasi.
Orang Madura tak ingin mengalami nasib seperti sebagian (saudara kita) orang Betawi yang terpinggirkan di tanah warisan nenek moyangnya. Kalaupun ada yang tertinggal, hanya merupakan suaka budaya yang hanya pantas disajikan untuk turis.
Itu artinya, kiamatnya budaya Madura sangatlah tergantung pada daya tahan orang Madura sendiri. Pendidikan di Madura hendaknya punya kepedulian kepada aspek budaya. Yang dikatakan “muatan lokal” hendaknya ditangani oleh guru yang ahli dengan buku-buku yang benar-benar mengarahkan sikap budaya.
Dari pemaparan ini, bisa disimak adanya tanda-tanda, Madura sedang berproses dalam perubahan, dan budaya Madura sedang berada di persimpangan jalan. Barangkali, dibutuhkan upaya-upaya yang lebih mengarah dan ilmiah agar tak menggelinding seenaknya.