Bila anda berkunjung ke keraton Sumenep, dalam area yang sama dipastikan akan sekedar menengok sebuah tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Taman Sarè (taman sari). Taman Sarè merpakan tempat berupa kolam dengan tebing bangunan kotak-kotak kesan artitik dan kuna, yang konon diyakini sebagai tempat pemandian para putri raja pada jaman dulu.
Dengan lokasi bersebelahan dengan bangunan keraton, tidaklah sulit ditemukan karena pada posisi setelah kiri keraton, pengunjung akan tampak ketika keluar masuk dari Labâng Mèsem, sebagai pintu gerbang utama keraton Sumenep
Sebagaimana banyak ditulis di sejumlah media cetak maupun online, bahwa Taman Sarè dengan segala kisa mistisnya kerap dikisahkan oleh masyarakat, antara bahwa raja atau pangeran Sumenep ketika kerap mengawasi para putri dan sayang-dayang mandi dari atas Labâng Mèsem, yang memang dalam jangkauan mata sangat memungkinkan hal itu. Bahkan cerita-cerita mistis lainnya bahwa ikna-ikan besar yang ada di kolam disakralkan dan tidak boleh diambil oleh siapa saja. Bila sampai dipantang, maka akan berakibat buruk pada pelakunya.
Konon, ketika itu, raja disebut juga mengawasi isteri, dan putri-putri keraton, serta dayang-dayang yang sedang mandi di Taman Sarè, yang berada tepat di sebelah timur Labâng Mèsem. Saat memperhatikan pemandangan kolam dan mereka yang mandi di sana itulah, raja lantas tersenyum, atau mesem.
Anggapan tersebut dibantah oleh Ketua Perfas (Persatuan Famili Sumenep) sekaligus pemangku adat Kasultanan Sumenep, Ir. R. P. Much. Muchtar Atmokusumo mengatakan versi itu tidak berdasar pada riwayat tutur sesepuh keraton.
“Sangat tidak benar jika dikatakan raja berlaku seperti itu. Hal itu merupakan penyesatan sejarah,” ujarnya.
Begitu juga menurut R. P. M. Mangkuadiningrat, salah satu sesepuh di kalangan keluarga keraton Sumenep lainnya, belum ada satupun riwayat kuna yang menceritakan hal itu. ”Asal-usul penamaan Labâng Mèsem dari kisah tersebut baru saya dengar. Terasa aneh. Kalau riwayat tutur sesepuh turun-temurun, tidaklah demikian,” kata Mangku, beberapa waktu lalu.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pemerhati sejarah dan keraton R. B. Ja’far Shadiq dan R. B. Hairil Anwar juga menilai versi tersebut tidak mengakar pada sumber keraton. Apalagi jika dilihat dari segi etika, hal itu tidak mencerminkan style keluarga keraton Sumenep, khususnya dinasti terakhir.
Imam Alfarisi seorang pemerhati sejarah menilai info yang demikian merusak citra penguasa Sumenep kala itu. Hal itu juga disebutnya sama sekali tidak menunjukkan karakter raja dinasti terakhir. ”Dinasti Bindara Saut, yang di dalamnya ialah Panembahan Sumolo dan Sultan Abdurrahman adalah penguasa-penguasa yang alim dan sekaligus arifbillah, serta menjunjung etika tinggi. Versi tersebut cenderung seolah-olah mengedepankan syahwati,” katanya.