Maka pangeran Adipati Setjodiningrat mengirimkan pasukannya dibawah pimpinan Patih Bangkalan Mas Ario Mantjonegoro yang masuk ke Surabaya melalui Gersik sehingga pemberontakan dapat didipadamkan, sedangkan Raden Tumenggung Setjodiningrat menyingkir ke Srengat. Maka Pangeran Adipati Setjoadiningrat sesudah Surabaya aman telah aman kembali, meminta kepada Compagnie agar supaya memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada beliau. Setelah lama menunggunya, maka Compagnie memenuhi janjinya mengangkat putra beliau yang bukan sebagai Bupati di Surabaya, akan tetapi sebagia Bupati di Sidaju dengan nama Raden Tumenggung Sorodiningrat , sedang Bupati di Sidaju yang Bernama Raden Tumenggung Djojodiredjo dipecat dari pekerjaanya dan kembali ke Gersik. Yang diangkat menjadi Bupati di Surabaya adalah dua orang saudara dari Bupati yang berontak tadi. Maka dari itu Surabaya di bagi dua.
Sebagai Bupati tertua (ke sepuluh) diangkat di Surabaya Tumenggung Tjondronegoro dan sebagi Bupati yang lebih muda (kanoman) diangkat di Surabaya Tumenggung Djojonegoro. Didalam tahun 1753 setelah ayahnya meninggal di Kaap de Geode Hoop. Pangeran Adipati Setjoadiningrat meminta kepada Compagnie agar supaya jenazah ayanhya dibawa ke Bangkalan, Permintaan tersebut diperkanankannya dan jenazah ayahnya tersebut di makamkan di Aermata (Arosabaya).
Didalam tahun 1762 di Semarang di adakan kumpulan (Conferentie) dari semua Bupati didaerah pesisiran. Didalam kesempatan itu, maka Pangeran Adipati Setjoadiningrat diberi gelaran Tjokroadiningrat (Keterangan: sejak ini panembahan, maka gelaran Tjakraningrat berubah Tjokroadiningrat sehingga sampai kepada Bupati pertama di Bangkalan). Beliau didalam babad Madura terkenal dengan nama panembahan Tjokroadiningrat V. Didalam kumpulan tersebut diatas beliau diangkat sebagai Bupati Wadhono di Pangwetan yaitu dari Madiun ke Blambangan, nama Bupati Wadhono itu. Didalam buku berbahasa Belanda disebut dengan perkataan ,,Hoofd-Regent”.
(Sumber: http://silsilahsembilangan.blogspot.com)