Oleh : Abdur Rozaki*)
Rencana para aktifis sosial untuk mengadakan Kongres Budaya Madura pada bulan Maret 2007 sudah semestinya disambut dengan penuh antusiasme, khususnya oleh para stake holder Madura. Kongres ini menjadi momentum yang baik untuk merefleksikan ulang perjalanan sejarah sosial budaya, politik dan ekonomi manusia Madura dalam berelasi dengan lingkungan internal dan eksternalnya. Melalui kongres ini pula diharapkan nantinya mampu merumuskan jati diri baru manusia Madura dalam membangun peradabannya secara lebih baik di masa depan.
Rumusan tentang jati diri ini penting karena tak sedikit orang Madura yang kini terperangkap dalam identitas budaya dan rumusan jati diri yang eksklusif dan pragmatis. Sikap eksklusif dibangun melalui orientasi atas kebudayaan masa lalu. Bentuknya tercermin pada upaya penegakan ‘harga diri’ dengan cara kekerasan, seperti carok. Sedangkan sikap pragmatis muncul didasari oleh adanya orientasi hidup yang serba duniawi.Baik yang tua maupun yang muda, perilakunya kini meleburkan diri pada budaya pasar tanpa mempertimbangkan tradisi, dan nilai-nilai kearifan lokal. Di kalangan kaum tua tercermin pada perilaku mengejar kekuasaan tanpa didasari dimensi etik dan kepedulian atas penderitaan masyarakat. Sedangkan dikalangan kaum muda tercermin pada perilaku yang serba konsumtif, dan penuh glamour.