Di tengah berbagai persoalan yang menghimpit Madura, tentu dua orietasi sikap hidup di atas sangat tidak visibel dijadikan sebagai identitas Madura di masa depan. Misalnya, sikap hidup eksklusif yang mengadalkan pendekatan kekerasan. Kondisi ini memiliki dampak internal budaya yang mematikan modal sosial (social capital) Madura, disebabkan energi kekerasan dapat melumpuhkan berlangsungnya rukun kekerabatan, persaudaraan dan kebersamaan akibat siklus kekerasan, seperti dalam dendam carok. Di samping itu juga menciptakan isolasi budaya etnisitas Madura dalam membangun relasi multikultur dengan etnisitas lainnya di nusantara.
Pengalaman konflik di Kalimantan memberikan pelajaran berharga pada kita, betapa pemujaan atas budaya-simbol kekerasan seperti carok sangat tidak produktif bagi ko-eksistensi etnis-keturunan Madura disana. Mengapa?etnis Madura menjadi gampang dimobilisasi dan dipolitisasi dalam dinamika konflik perebutan kekuasaan etni-etnis lokal dengan menjadikan etnis Madura sebagai musuh bersama melalui proses pengkondisian politik konflik yang menjebakkan etnis Madura. Praktek hidup yang masih eksklusif dan penggunaan simbol dan budaya kekerasan dalam penyelesaian permasalahan dijadikan sebagai ajang sekaligus sasaran tembak oleh kekuatan ‘musuh politik’nya untuk mengubur simpati publik atas penderitaan warga Madura atas pusaran konflik kuasa etnik di Kalimantan.
Kasus Kalimantan, dalam setting yang agak berbeda kini mulai merambat ke daerah lainnya, seperti di Jakarta. Dalam perebutan kuasa di tingkat lokal, etnik Madura tak jarang digunakan sebagai kendaraan politik untuk dibenturkan dengan kekutan lokal, seperti etnis Betawi. Kasus konflik antara etnis Madura dengan Forum Betawi Rempug (FBR) terjadi dalam hitungan lebih dari sekali. Ini harus disadari, betapi arus pempolitisasian atas etnisitas Madura, baik oleh orang Madura sendiri atau di luar orang Madura sangat tidak menguntungkan di masa depan. Di sinilah perlunya strategi budaya, bagaimana mengkonstruksi ulang budaya Madura dari ikon atau identitas etnik yang keras, pada ikon budaya yang lembut, ramah, mengandalkan otak dibandingkan otot dalam melakukan resolusi konflik atas berbagai problem kehidupan sosialnya.