Jika ada yang men gatakan wanita adalah simbol kehormatan, sepertinya memang benar-benar begitu adanya. Jika di sumatera seorang perjaka harus menculik calon istrinya sebelum di lamar, maka di Pulau Pagerungan Kecil, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, seorang mempelai laki-laki harus menang terlebih dahulu bertarung melawan kelurga pihak keluarga si perempuan.
Bisa jadi yang bertarung memang bukan sang calon mempelai laki-laki. Tapi seorang pendekar yang mewakilinya, la bertindak sebagai utusan untuk menaklukkan pendekar dari pihak perempuan. Pada jaman dahulu, pertarungan ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Tidak jarang satu dari dua pendekar tersebut harus terluka. Sebab tanpa bisa mengalahkan pendekar dari pihak perempuan, seorang calon mempelai laki- laki tidak diperbolehkan menikahi calon istrinya. Konon, ada istiadat ini berasal dari kebiasaan yang dilakukan suku Bajo, Bugis dan Mandar.
Bagi mereka perempuan adalah pertaruhan harga diri dan kehormatan. Sehingga sebuah keluarga tidak akan begitu saja menyerahkan anaknya untuk dinikahi seseorang lelaki, la harus direbut dengancara kesatria melalui pertarungan secara fisik.
Hanya saja pada akhir-akhir ini, pertarungan tersebut tidak lagi dilakukan dengan sesungguhnya. Setiap acara pernikahan memang diawali dengan pertarungan. Namun lebih sebagai simbol kebu- dayaan dan hiburan belaka. Pertarungan ini ke- mudian menjadi semacam tontonan yang menyenangkan bagi tetangga dan kedu belah pihak yang akan menyelenggarakan perkawinan.
Lihat saja, anak-anak bahkan tidak sungkan mendekat dan menirukan gerakan-gerakan jurus yang diperagakan oleh sang pendekar. Ibu-ibu muda juga tak ketinggalan turun ke halam rumah sambil menggendong bayinya untuk menyaksikan pertarungan ini. Tak jarang dari mereka bahkan terlihat terpingkal-pingkal. Sebab gerakan- gerakan para pendekar yang bertarung sudah tidak lagi kaut dan gagah.
Mungkin para ibu-ibu ini bahkan ragu apakah sang pendekar bisa melihat dengan jelas atau tidak lawan bertarungnya. Lihat saja, salah satu dari dua pendekar ini bertarung dengan menggunakan kacamata.
Tentu tak bisa dibayangkan jika pertarungan ini tetap dilakukan dengan sesungguhnya. Perkawinan yang seharusnya menjadi momentum untuk berbahagia bersama, bisa berbalik 180 derajat menjadi pembantaian dan kekisruhan, (obeth)’
dikses dari: http://jawatimuran.wordpress.com/