Potret “yang lain” dalam pergumulan kebudayaan di Madura, khususnya di Bangkalan dan Sampang sebagaimana yang sedikit disinggung diatas adalah watak ke-blater-an. Blater adalah figur sosial yang dihasilkan melalui kondisi ekologis masyarakat Madura. Sebagaimana gambaran Kuntowijoyo diatas terlihat ada faktor pararel antara kondisi geografis (alam) dengan karakter sosial masyarakat disebuah wilayah. Kondisi geografis yang kurang subur ikut memberikan andil bagi rendahnya kesejahteraan masyarakat. Akibat kesejahteraan yang minim ini, telah mendorong potensi kriminalitas yang tinggi pula.
Akibat faktor ini pula beberapa pondok pesantren didirikan untuk memerangi moral kriminal masyarakat. Tapi sebetulnya, jauh sebelum Islam masuk, masyarakat setempat telah memiliki cara cara tersendiri dalam memerangi tindak kriminalitas ini. Sifat ke-blater-an adalah bagian dari strategi masyarakat untuk memerangi tingginya tindak kriminalitas. Blater adalah sosok “kesatria lokal” yang diharapkan menjadi pelindung masyarakat desa dari ancaman kriminalitas baik yang datang dari warga sendiri atau dari daerah lain.
Dalam usahanya menjadi “kesatria lokal” itulah blater sendiri kerapkali mendapatkan pandangan minor dari kalangan mainstream. Sebab pergumulan blater dengan sabung ayam, kerapan sapi, serta sandur dianggap telah melenceng dari nilai nilai Islam, sebab hal tersebut mengandung unsur penyiksaan terhadap hewan, dan biasanya juga disertai dengan judi, dan minum minuman keras. Akibat hal inilah kerapkali para kyai memperotes aktivitas aktivitas semacam itu dalam forum forum pengajian. Namun jika sampai protes itu berlarut larut, maka kalangan blater seperti yang dituturkan oleh H Junaidi berikut ini;
“Kalangan blater tidak serta merta akan menuruti himbauan para kyai, jadi sangat tidak mungkin kalau kalangan blater diminta meninggalkan tradisi keblaterannya. Bisa bisa kalangan blater akan membangun kebencian dengan kyai tersebut, dengan mencuri sapi atau barang barang keluarga atau tetangga kyai tersebut sebagai peringatan. Blater memang tidak membangun posisi yang berlawanan secara frontal dengan kyai. Mereka menghormati kyai jika kyai juga mau mentoleransi dan tak mengusik kegemaran blater”.