Hal itu diperkuat dengan Nathun dari Desa Katol Barat. Ia tergolong sebagai blater kene’ (kecil) ia justru menyambung hidupnya guna memperoleh pendapatan dengan cara menyabung ayam, atau ikut taruhan dalam kerapan sapi. Memblater bagi Nathun sebagai cara untuk mengatasi problem ekonominya, sebab ia tak memiliki modal yang cukup untuk berusaha yang lain. Yang lebih penting lagi bagi Nathun, memblater adalah hobi sehingga membuat hidupnya menjadi senang.
Blater atau yang dikenal dengan sosok jagoan yang biasanya memiliki pengaruh ditingkat desa, atau beberapa desa, bahkan hingga kecamatan. Ia memiliki pengaruh karena dianggap dapat menjaga keamanan dan ketentraman lingkungan desa dari gangguan tindak kriminalitas. Sosok blater kerapkali dianggap sebagian penduduk desa sebagai “kesatria” lokal yang memiliki jaringan pertemanan yang luas. Untuk menjalin pertemanan yang luas, bahkan sampai lintas kabupaten, Blater banyak memiliki media untuk merawat komunikasi itu. Remoh[1], kerapan sapi, sabung ayam, dan sandur adalah media yang tidak saja merajut komunikasi, tetapi juga menjadi ruang bagi kalangan blater menakar harga diri, bahkan menaikkan status sosialnya.
Bahkan untuk menunjukkan gengsi kejantanannya, banyak pula kalangan blater yang menikahi beberapa perempuan. Melalui remoh itulah pertemuan informal kalangan blater dilangsungkan. Kalangan blater dapat saling mempertukarkan segala informasi, khususnya raport kriminalitas yang terjadi didaerahnya masing masing. Bagi blater yang daerah kekuasaannya minim akan tindak kriminalitas, maka prestisnya dikalangan blater lainnya akan meningkat. Sebab dipersepsi blater yang bersangkutan benar benar dihormati dan memiliki kewibawaan dimata warganya.
Bagi blater pemula atau blater kene’ setiap bepergian baik siang terlebih malam harus membawa clurit. Clurit bagi orang Madura, khususnya blater ibarat pakaian yang tak mungkin dipisahkan dari tubuh. Clurit dibawa oleh kalangan blater sebagai alat pertahanan diri.