Blater memang tak memiliki sifat agresif untuk menyerang. Mereka tak akan melakukan hal hal yang terkait dengan kekerasan, seperti membunuh, jika tidak disinggung harga diri dan keluarganya. Sebagai seorang blater kene’, Nathun, remoh dianggap sebagai media yang penting untuk menimba informasi dan pengalaman dari blater blater lainnya.
Melalui remoh, kalangan blater berlomba lomba memberikan materi kepada blater yang mengadakan remoh tersebut. Dan setiap pemberian uang itu diumumkan secara terbuka layaknya transaksi dalam lelang. Dus, bagi blater yang sanggup memberikan uang paling banyak, maka ia akan ditempatkan pada posisi yang tinggi di kalangan blater lainnya.
Personifikasi blater mengingatkan kita pada sosok Sakerah. Tokoh lokal dengan gagah berani melakukan perlawanan terhadap kaum kolonial yang menghisap darah rakyatnya. Demikian pula dengan Blater, karena keperkasaannya melakukan pertahanan daerah secara mandiri, seringkali blater dipercaya oleh masyarakat desa untuk menduduki jabatan klebun (kelapa desa).
Memang untuk menjaga rasa segan masyarakat terhadap dirinya dan kehormatan keluarganya, blater senantiasa mengedepankan pendekatan pendekatan kekerasan, seperti carok[2]. Jika seorang blater telah dinodai kehormatan keluarganya, seperti isteri atau anak perempuannya digoda, maka sang blater tak segan segan menghabisi orang yang bersangkutan dengan menggunakan clurit.
Ridwan (50 th) penduduk Desa Katol Barat, Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan adalah cermin sebagai figur blater didaerahnya. Menurutnya seorang Blater itu tingkat pengaruhnya sangat ditentukan melalui remoh. Banyak pengalaman didunia blater yang ia lakoni hingga kini, mulai dari remoh, dan sabung ayam. Ia menolak kalau seorang blater dianggap sebagai bajingan yang hanya mengganggu masyarakat.