Persepsi selama ini orang sering salah mengartikan blater. Kalau bajingan berarti mereka mereka yang selama ini bergelut dengan tindak kriminalitas, dan sama sekali tidak memiliki kontribusi apapun juga bagi masyarakat disekelilingnya. Namun sikap blater justru hendak melindungi warga dari gangguan kriminalitas. Sikap Ridwan itu adalah ekpresi kekecewaan yang ia kemukakan terhadap pandangan kyai atas tradisi ke-blater-an yang berkembang didaerahnya.
“Kalau blater ya blater, kalau bajingan ya bajingan, jadi jangan dicampur adukkan. Blater memang sering bersentuhan dengan dunia kekerasan, namun itu sebagai upaya tanding melawan kriminalitas”, ucapnya.
Menurut laki laki yang beristri dua ini, seseorang bisa disebut sebagai blater jika ia bersedia terlibat dan menjadi partisipan aktif dalam beberapa tradisi kalangan blater, seperti remoh, kerapan sapi, dan sabung ayam. Namun bisa juga seseorang mendapatkan identitas blater jika terlibat atau memenangkan carok. Carok jangan dilihat semata mata aksi kekerasannya, akan tetapi motif dibelakangnya.
Carok itu cara kultural orang Madura mempertahankan harga diri. Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh H. Junaidi, seorang blater yang pernah nyantri di Demangan Barat (komplek Ponpes Syaichona Kholil) yang sekarang menjadi Klebun di Desa katol Timur, Kecamatan Kokop, kabupaten Bangkalan.
“Karakter yang melekat pada diri blater adalah keharusan menjunjung harga diri. Blater itu memiliki prinsip ketimbang putih mata, lebih baik putih tulang. Jadi seorang blater lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung hinaan orang lain. Harga diri adalah segala galanya yang tak bisa dipertukarkan dengan apapun juga”, ujarnya.
Tulisan bersambung:
- Ke(blater)an: Sebuah Konstruk Lokal yang Tersisa, baca:
- Blater Sebagai Sosok “Kesatria Lokal”, baca:
- Tradisi Blater Tak Bisa Ditinggalkan, baca: