Masyarakat Madura memiliki budaya dasar yang lumayan beragam, diantaranya adalah:
Masyarakat Madura adalah masyarakat yang kolekitivis, hal ini terbukti dengan adanya kelompok- kelompok tertentu yang berada dalam masyarakat Madura itu sendiri. Dan masing-masing dari kelompok itu juga mempunyai salah seorang penguasa kelompok. Perilaku dari anggota kelompok itu pun bermacam- macam sesuai dengan kebijakan dari kelompok masing-masing.
Budaya Gotongroyong
Budaya ini sangat terlihat saat ada prosesi kematianatau pernikahan yang diselenggarakan oleh penduduk Madura. Karena di saat itulah sanak saudara yang berada jauh dari Madura akan dengan rela hati menyempatkan diri datang ke Madura untuk membantu keluarganya yang di Madura, begitu pula dengan tetangga-tetangga dekat atau jauhnya.
Acculturasi
Akulturasi adalah proses secara bertahap, seseorang mendeteksi kesamaan dan perbedaan budayanya sendiri dengan lingkungan barunya. Orang Madura dan orang Jawa pada kenyataannya memiliki budaya yang sama dalam hal sopan santun.
Keduanya ternyata sama-sama menjunjung tinggi sopan santun kepada orang lain terutama kepada orang yang lebih tua atau kepada kedua orang tua. Hanya saja yang berbeda adalah dalam menjaga harga diri. Jika harga diri orang Madura dilecehkan dan tidak dihargai maka orang Madura akan marah dan tidak terima akan hal itu.
Jika orang lain masih meremehkannya dan membuatnya sakit hati maka tidak hanya dirinya yang tersakiti yang akan maju menghadapi orang yang telah membuatnya sakit hati, akan tetapi sanak saudara dan orang-orang sesama Madura (bagi yang berada di luar Madura) akan membantu temannya yang sedang sakit hati ini untuk melawan orang tersebut. Inilah yang membedakan antara orang Jawa dan Madura pada umumnya.
Dekulturasi
Dekulturasi adalah proses dimana seseorang tidak mempelajari budaya mendasar dari budaya barunya. Dan dia masih tetap memegang budayanya sendiri. Bagi orang Madura yang berada di perantauan, mereka akan tetap memegang budaya kekeluargaannya, yakni merasa malu jika perbuatan yang dilakukan itu salah, sopan santun, keramahan, dan “taretan dhibi’”, sebagaimana telah dijelaskan di atas tadi pada bagian enkulturasi. Akan tetapi yang perlu diingat dan dijadikan catatan adalah jangan sampai membuat orang Madura sakit hati.
Asimilasi
Asimilasi adalah tingkat akulturasi dengan budaya baru dan tingkatan dekulturasi dari budaya asalnya. Dan dari asimilasi inilah cikal bakal terjadinya adaptasi. Dalam masyarakat Madura, adat pernikahan orang Madura dahulu adalah dengan cara lesehan tanpa ada kursi ataupun pelaminan. Akan tetapi karena semakin banyaknya orang Madura yang memiliki pasangan yang berasal dari luar Madura maka saat ini, adat pernikahan Madura yang awalnya lesehan itu menjadi tidak ada dan berganti dengan adat pernikahan seperti orang Jawa kebanyakan.
Bahkan jika ada keluarga yang bisa menikahkan anak-anaknya di gedung-gedung hal itu menjadi kebanggaan tersendiri.
Selain itu pula, prosesi tukar cincin dalam pernikahan orang Madura saat ini mulai merebak. Padahal sebenarnya prosesi tukar cincin itu bukan berasal dari adat budaya Islam, hanya sebagian masyarakat Madura yang masih memegang teguh ajaran Islamnya saja yang tidak melakukan prosesi tukar cincin tersebut. Karena prosesi itu dilaksanakan sebelum akad nikah, dan dalam Islam jika belum di akad nikah maka kedua orang laki-laki dan perempuan itu belum menjadi mahram.
Masyarakat Madura yang memiliki beragam budaya ini perlu dilestarikan, terlebih lagi nilai-nilai budaya yang masih sarat dengan nilai-nilai Islam. Dan dengan mengetahui budaya Madura kita juga dapat mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang Madura, karena sebenarnya orang Madura itu tidaklah seperti anggapan orang kebanyakan, bahwa orang Madura itu kasar dan suka membunuh. Dan untuk orang-orang yang berasal dari luar Madura semoga dengan adanya makalah ini menjadi mengerti tentang budaya Madura, dan dapat mempermudah kita dalam berinteraksi dan berkomunikasi antar individu.
Padahal, Huub de Jonge, salah seorang pakar budaya Madura dalam bukunya mengatakan, bahwa Madura secara demografis-antropologis, termasuk kelompok lima besar setelah Jawa, Sunda, Bali dan Minangkabau. Menurut A. Latief Wiyata, salah satu antropolog madura pernah suatu ketika di bulan Oktober 1991 selama seminggu para pakar masyarakat dan budaya Madura dari seluruh dunia berkumpul di kota Leiden, Nederland dalam suatu lokakarya internasional dengan topik Madurese Culture: Continuity and Change yang diselenggarakan oleh KITIV (Koninklijk Instituut voorTaal Land en Volkenkunde atau Royal Institut of Linguistics and Antropology). Lokakarya yang dihadiri kurang lebih 20 orang yang terdiri dari ahli-ahli antropologi, sosiologi, sejarawan, musikologi, islamologi dan ekonomi pedesaan dengan keahliannya masing-masing tersebut telah menghasilkan sebuah buku berjudul Across Madura Strait The Dynamics of an Insular Society (Dijk, Jonge and Touwen Bouwsma, 1995).
Pertanyaan yang menggelitik penulis disini, mengapa justru orang asing yang sangat peduli dan tertarik meneliti soal karakteristik orang Madura? Bahkan, peneliti asing beberapa tahun yang lalu harus hidup bertahun-tahun bersama dengan penduduk Madura di perkampungan. Seandainya mereka ada keinginan untuk mengetahui Madura lebih jauh lagi, seharusnya mereka berlama-lama di Madura seperti halnya peneliti orang asing yang kagum terhadap penghormatan dan kesopanan orang Madura setelah lama mempelajari sikap dan prilaku hidup bersamanya.
Dan lagi, kita mengetahui bahwa karakteristik etnis Madura sangat berbeda jauh dengan etnis lainnya. “Karakteristik masyarakat Madura yang menonjol sekali adalah sifatnya yang ekspresif, spontan dan terbuka,” ujar A. Latief Wiyata, salah satu pakar antropolog asal sumenep madura. Itu semua menunjukkan bahwa perlakuan yang dianggapnya tidak adil dan menyakitkan hati, secara spontan masyarakat Madura akan bereaksi.
Sebaliknya, kalau ada perlakuan yang membuat hati senang, maka masyarakat Madura tanpa basa-basi secara terus terang akan mengungkapkan seketika itu juga sehingga hal itu menunjukkan kejujuran dari hati yang paling dalam tanpa tendesi. Masyarakat Madura juga gigih memegang prinsip, meskipun dirinya harus berhadapan dengan “moncong senapan.” Sebab, dalam kehidupan Madura ada satu falsafah yang sangat terkenal yaitu : lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu.
Dengan begitu konsep malo bukan hanya merupakan ungkapan malo (malu), akan tetapi menunjuk pada suatu kondisi psiko-kultural serta ekspresi reaktif yang secara spontan muncul akibat pengingkaran terhadap eksistensi diri, baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga, kampung, desa atau kesukuan).
Semoga paparan ini penting bagi akademisi, pengamat sosial, teknokrat, dan para pengambil kebijaksanaan di pemerintahan saat ini dalam melakukan expansi pembangunan industri, jalan, dan perdagangan yang telah ada. Semoga bermanfaat.
(disadur dari Disertasi Prof.Dr.Kuntowijoyo, dan berbagai sumber dan diangkat dari jawatimuran.wordpress.com)
Makasih banyak, krena artikel ini sangat membantu