Perkembangan lain yang lebih jauh dampaknya adalah dibentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Tentara ini semata-rmta terdiri atas orang Indonesia dan dipimpin pula oleh perwira Indonesia yang dilatih secara khusus di Bogor. Tidak kurang dari 43 pemuda Madura (yang diambil dari pemimpin masyarakat, orang terkemuka dan pegawai menengah pemeritahan daerah) digembleng jiwa kenasionalannya dan raga fisiknya menjadi perwira tempur. Mula-mula di Madura dibentuk dua daidan atau batalion, untuk kemudian dimekarkan menjadi lima batalion yang melibatkan ribuan pemuda Madura. Batalion PETA itu berkedudukan di Bangkalan, Ketapang, Pamekasan, Ambunten dan Batang-Batang. Tetapi Jepang menjagä agar tidak ada hubungan koordinasi di antara batalion-batalion itu sehingga semuanya tidak berada dalam satu garis komando.
Pemerintahan militer Jepang terus mencoha menjaga keseimbangan kekuatan sosial politik yang berkembang di masyarakat. Mereka mendukung aliran Islam modern namun di lain pihak memberikan makna arti baru bagi kegiatan priyayi dalam mengabdikan darma baktinya untuk kepentingan umum. Dalam waktu singkat maka rasa kenasionalan orang Madura sebagai bagian bangsa Indonesia mendapat bentuk baru deñgan militansi terarah. Pelarangan pemakaian bahasa Belanda dan penggantiannya dengan bahasa Indonesia serta penempatan tenaga indonesia pada kunci pemerintahan telah menimbulkan kepercayaan diri yang tebal. Penggemblengan pemuda melalui Seinendan, Keibodan, Fujinkai dan terutama PETA memunculkan jatidiri yang mampu mernpersiapkan mereka untuk menghadapi revolusi yang pasti datang.
__
Artikel bersambung: