Cerita Rakyat Sapeken; Tèmbhuk Olo-Olo

Témbhuk Olo-Olo
Ilustrasi: Tamar Saraseh

Namun demikian raja masih tetap meragukan kehamilannya meski permaisuri menjelaskan dengan sesenggukan untuk meyakinkan sang raja. Karena terus dihantui perasaan ragu, akhirnya raja memberi syarat kepada permaisuri  bahwa jika nanti bayi itu terlahir harus dibuang.

“Apabila bayi itu benar-benar anakku, dan kalau benar  putera mahkota, pasti nanti akan ada buktinya!” Kata raja pada permaisuri. Mendengar apa yang diucapkan sang raja itu permaisuri sangat sedih dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah kandungan itu semakin besar dan tibalah permaisuri melahirkan.  Sesuai perintah dan syarat yang diajukan raja sebelumnya, bayi laki-laki itu langsung dibungkus dengan kain diberi ikat kepala semacam (odheng) sebagai tanda apabila ia benar keturunan kerajaan, lalu ditaruh atau dimasukkan pada bambu yang besar dan kemudian dihanyutkan ke laut. Mungkin dengan seperti itu raja ingin menutupi malu dan aib kerajaan.

Sang permaisuri sangatlah sedih karena harus kehilangan bayinya dan pasrah pada keadaan yang memaksanya untuk menerima yang terjadi. “Anakku, maafkan ibumu, ya Nak! Ibu harus melepaskanmu karena ibu hanya mematuhi apa yang menjadi perintah ayahandamu. Semoga engkau baik-baik saja dan semoga nanti engkau ada yang menemukannya.” Keluh sang istri raja sambil mengusap derai air mata setelah menghanyutkannya.

Beberapa hari kemudian, di pulau seberang tepatnya di pulau Sepanjang, Kecamatan Sapeken, terdengar kabar adanya bayi terdampar dan ditemukan nelayan yang sedang melaut mencari ikan. Konon, nelayan yang menemukan bayi itu adalah ulama pendatang dari daerah Jawa. Beliau merantau untuk melakukan semedi atau tirakat di daerah Sepanjang yang penuh dengan hutan belantara. Karena merasa nyaman dan betah di Sepanjang, maka dibawalah isterinya untuk tinggal bersama dan yang kemudian dikaruniai seorang anak perempuan.

Saat nelayan itu sedang melaut, tiba-tiba mendengar suara tangisan seorang bayi dari kejauhan. “Ah seperti ada suara bayi menangis. Di manakah suara itu?” Kata nelayan itu dipenuhi rasa terkejut dan heran. Nelayan yang lain pun merasa ada keanehan karena tiba-tiba di sekitarnya ada suara tangisan bayi.

Nelayan yang juga ulama itu bersama nelayan lainnya mendayung sampannya sambil mencari asal suara tangis itu dan mendekatinya. Ternyata suara itu berasal dari bambu besar yang berada di celah-celah batu karang. Betapa terkejutnya para nelayan itu melihat isi dalam bambu besar.  Ternyata terdapat bayi laki-laki disertai ikat kepala ciri khas kerajaan.

“Pak kyai! Cepat ambil bambu besar itu!” Kata nelayan yang menemani.  Buru-buru bayi yang terbungkus bambu besar itu diambil oleh nelayan kemudian dibawa ke rumah dan diasuhnya sebagai anak angkat.

Bayi itu tumbuh besar laksana bayi yang lain namun penduduk sekitar yang melihatnya ada sesuatu yang menunjukkan bahwa bayi itu bukan bayi biasa. Ia seperti putera bangsawan. Bukti ikat kepala yang ada dalam bambu itu menguatkan kalau bayi itu putera bangsawan. Penduduk pun berbondong-bondong penasaran ingin tahu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.