Endang Susanti Rustamaji
Lewat artikel “Menghidupi Tradisi Seni” (Bandung Art Forum, April 2001), Rizki A Zaelani pernah mengatakan bahwa kesenian adalah bagian dari tradisi hidup, dengan demikian, ia akan selalu berubah mengikuti perkembangan way of life kita.
Di zaman modern dan post-modern, bila kita hendak membayangkan kembali kesenian sebagai bagian dari keniscayaan hidup itu, maka tak cukup hanya bila dihidupi oleh sikap romantis-utopis tentang kehidupan seni tradisi masa lalu yang sering dicitrakan unik, menarik, klasik, eksotik, indah, alamiah dan tak pernah berubah.Mengacu konteks itu, seni mestilah mengalami transmutasi visi dan persepsi dalam mengikuti arus zaman.
Seni tradisi yang membiarkan dirinya untuk tetap bertahan dalam bentuk semula dan apa adanya, barangkali dihipotesiskan akan segera terpinggirkan.
Postulat Zaelani tadi memang masih berupa asumsi. Tapi, melihat perkembangan polemik wacana di luaran, saya mengakui bahwa fenomena yang terjadi dalam dunia seni kita memang menyajikan pokok pikiran yang kurang lebih demikian. Jauh-jauh hari, seusai Pekan Wayang Indonesia di Jakarta (1981), Umar Kayam menengarai bahwa format seni pertunjukan tradisional harus berubah, karena zaman memang menghendaki perubahan.
Sementara itu, jika kita tarik ke muka, seorang dalang muda pelestari seni tradisi, Ki Enthus susmono secara transparan dan agak jumawa menilai, bahwa pertunjukan wayang yang setia pada pakem dianggap sudah kadaluwarsa. Lagipula, tidak kreatif. Maka, teknisnya mesti diubah. “Yen dalang muda ora melu aku, bakal mati sandhang pangane” (Kalau dalang muda tidak ikut saya, bakal celaka). Seperti itulah.
Mencermati perkembangan yang terjadi; apapun jenis, bentuk dan hakekatnya, seni sekarang merupakan bagian dari pertunjukan (tontonan), identik dengan sarana untuk merebut perhatian khalayak.
Disini, peristiwa budaya bernuansa ritus- keagamaan pun tidak segan-segan lagi dikreasikan sedemikian rupa, agar mendapat tempat di hati masyarakat sebagai hiburan. Setidaknya, setiap pengelola pertunjukan akan mencari kiat sekuat pikiran, menawarkan apa saja, segala kreasi seni yang dimilikinya supaya layak dinikmati publik.
Bahkan, seni tradisi yang tadinya memiliki hakikat sebagai bagian dari sosio-aspirasi, penggerak kesadaran dan ajakan kontemplasi bagi masyarakat pendukungnya dan sebagai sarana dialogis dalam menata ketahanan budaya setempat, menjadi tandus oleh pemikiran yang ditekankan oleh budaya massa (kultur media).
Akibat lain yang kronis: seni tradisi tak mampu lagi menjadi penggugah kesadaran dan ajakan kepada publik pendukungnya, ketika posisi seni telah berubah arah dari hakekat ketahanan-budaya menjadi sekedar pengisi keterhiburan dan pemuas selera masyarakat. Padahal,seyogyanya ia mengemban tanggung jawab besar dan mulia: sebagai agen pewarta kebenaran, keindahan serta keluhuran budi dalam jangka panjang.