PERUBAHAN orientasi seni bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia memiliki relevansi dengan irama sosiopolitik dan ekonomi yang dalam dua dasawarsa terakhir ini bergeser menuju cita-cita dan trend merebut perhatian publik untuk mengukuhkan status kekuasaan (tentu politik-ekonomi) dari lini manapun.Pada terminologi politik, seorang cendekiawan Amerika, C Wright Mills (lihat: Politik Kekuasaan, 1999) dengan yakin menyimpulkan bahwa semua politik pada hakekatnya adalah pertarungan kekuasaan.
Kinerjanya cenderung agresif-represif dalam merebut simpati publik awam. Selanjutnya, kinerja itu menyusup secara diam-diam ke dalam wujud seni pertunjukan (entertainment) yang dari hari ke hari berdenyut mempengaruhi substansinya. Dan kemana arah politik bermuara, gampang ditebak: menjadi sekedar propaganda untuk merebut power.
Gambaran situasi di atas kian diperjelas oleh bentuk seni tradisi yang sering diekspos media, untuk semata-mata kepentingan politik. Kerap kita saksikan bentuk seni kasidah barzanji yang biasanya membawakan lagu-lagu Islami dengan irama pukulan rebana oleh para wanita yang senantiasa dapat menghibur khalayak sambil berdakwah dan memberi nasehat kearah kebaikan dan kebenaran.
Namun, seni ini bisa dimanfaatkan dalam suatu forum konsolidasi kader, ulang tahun atau temu tokoh dan caretaker partai politik tertentu. Kostum yang tadinya berwarna-warni, bisa saja berubah menjadi satu warna dominan mengikuti pesanan Si Penanggap. Syair-syair lagunya pun bisa diubah, diselipi pantun-pantun yang isinya menyanjung OPP tertentu serta tokoh-tokoh pentingnya (yang kebetulan hadir, sehingga tersenyum puas).
Pada terminologi ekonomi, budayawan Nirwan Dewanto (1996) mencatat kemunculan “kapitalisme” sebagai induk perubahan orientasi seni. Disini, kapitalisme yang marak di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir bukanlah kapitalisme yang tumbuh dari sejarah dan etos borjuasi, tapi imbas dari mekarnya dunia usaha dan berkembangnya selera sekelompok masyarakat kita. Itu sejenis kapitalisme mutakhir, yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik. Titik beratnya pun bergeser, dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi.