Demi kepentingan jangka panjang, kapitalisme ini bisa mengakomodir tuntutan serikat pekerja dan daya kreatif-kritis konsumen untuk mengintegrasikan banyak unsur sosialisme kedalam dirinya. Kinerjanya pun memakai prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap lagi menghadapi perubahan yang cepat. Jadi, ini sejenis kapitalisme “baru” yang tidak menawarkan keseragaman gaya atau citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.Maka, jika ada kasus : Pengusaha A menanggap wayang kulit,Pengusaha B nanggap ketoprak, sedang Konglomerat C nanggap Campursari; tindakan mereka tak bisa dijadikan indikator kalau mereka mendukung eksistensi dan estetika seni tradisi secara menyeluruh.
Bisa saja,tindakan mereka itu terutama demi gengsi, prestise, atau demi image tertentu. Agak dekat dengan kasus ini, ada Ki Manteb yang menawarkan produk obat sakit kepala merk tertentu, dengan tata kostum dan “suluk” yang jelas mengikuti “pesan sponsor”. Lalu, ada rombongan kuda lumping menawarkan puyer, ada fragmen ketoprak lakon Roro Jonggrang menawarkan obat kuat, dst, dst.
Tampilan insidentil yang dilakukan oleh bentuk-bentuk kesenian tersebut telah melegitimasi diri untuk menunjukkan eksistensi di balik satu kekuatan politik-ekonomi tertentu, terkadang tanpa idealisme yang jelas.
Barangkali benar pendapat George Herbert Mead (baca: Nuansa Komunikasi, 1999) bahwa kehidupan manusia senantiasa dapat dipengaruhi oleh interaksi simbolis. Dalam berinteraksi, manusia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain untuk kepentingan finansial atau politiknya. Disini, seni tradisi dapat menjadi bahasa simbolis yang canggih untuk memprovokasi massa agar membeli, mencoba atau ikut.
* * *
Sampai pada tataran apresiasi, jika muncul tudingan bernada minor mengkritik; panitia penyelenggara, produser sinetron, programer stasiun penyiaran dan biro iklan selalu berkelit: “Itulah selera pasar! Begitulah realitas rating!” Artinya, seolah-olah masyarakat memang welcome atau menyukai tayangan tadi.
Maka, hubungan simbiotik antara broadcasting dan advertising seperti diteliti oleh pakar komunikasi Amerika, Blumenthal & Goodenough (Republika, 9/4/2001) terus berlangsung. Yaitu hubungan yang melibatkan ambisi keduanya untuk meraup duit (atau dukungan politik) dengan menghalalkan produk tontonan dan acara (termasuk iklan-iklannya) yang secara simbolis bisa saja tidak mendidik, menyesatkan atau membodohi pemirsa.Tapi, kita terlanjur hidup di alam simbolis.
Dalam bahasa Gustav Jung (Kompas 9/4/2000), kita biasa menggunakan terminologi simbolis untuk merepresentasikan konsep yang tidak sepenuhnya kita kuasai. Pada dataran simbolis itulah , dunia komunikasi sehari-hari memanipulasi image. Dan simbol pun menjadi “bahasa kepercayaan”. Selama itulah, pergulatan nilai-nilai lokal dan global, lama dan baru, tradisi dan modern terus berlangsung.Studi-studi kebudayaan mutakhir terhadap masalah seperti ini semestinya kian transparan, seperti diadvokasi oleh Raymond William (2000), agar bisa menggiring masyarakat untuk punya sikap kritis terhadap semua gejala aktual. Sebab, pada akhirnya, masyarakat sendiri yang akan memilih dan menentukan: “Seni tradisi lebih cocok bagi kami.”
Yogyakarta, 5 Oktober 2001.
*Penulis adalah Sastrawan Angkatan 2000 dan Ketua Komite Sastra pada Dewan Kesenian Dati II. Punya e-mail: esantira@kompascyber.com dan esantira@yahoo.com