Bicaranya lembut, datar dengan logat Madura kental, bagaikan angin yang menyelinap di ranting cemara. Dibarengi dengan seulas senyum pada setiap akhir kalimatnya. Tetapi, saat menyinggung nama Trunojoyo, sontak nada bicaranya meninggi laksana ombak menampar batu karang (Anwar Hudijono)
“Ya, saya sangat kecewa karena untuk kedua kalinya Pemerintah menolak usulan agar Trunojoyo menjadi Pahlawan Nasional. Ini menunjukkan, sejarah tidak adil terhadap Madura,” kata Edhi Setiawan, Budayawan Madura.
Ketidakadilan itu terjadi karena sejarah Trunojoyo dilihat dari sudut pandang Mataram.
Trunojoyo distigmakan sebagai pemberontak, melawan Pemerintahan yang sah. Ia di anggap kejam, bahkan biadap. Ia berperang hanya untuk kepentingan hak warisan. Mataram memang malu dan sakit hati karena Trunojoyo berhasil mengobrak-abrik Mataram walau beberapa saat, bahkan sempat mencopot mahkota Amangkurat II.
Kalau dilihat dari sudut pandang Madura, Trunojoyo melawan penjajah Mataram. Apalagi, Raja Mataram Amangkurat II dikenal zalim, pro-Belanda. Ayahnya sendiri, Amangkurat I, diracuni. Ia menyelingkuhkan selir ayahnya.
“Sebagai santri, murid tokoh spiritual Panembahan Rama, Trunojoyo menempatkan Belanda sebagai kaum kafir jahat,” katanya.
Sedikit yang mengobati kekecewaan Edhi, walau tak memperoleh pengakuan Pemerintah, masyarakat mengakui Trunojoyo adalah Pahlawan. Buku pelajaran sejarah mencantumkan Trunojoyo sebagai Pahlawan melawan penjajah Belanda. Hampir di semua kota besar di Jawa, kecuali di Yogyakarta dan Solo, Trunojoyo di jadikan nama jalan besar.
Ketidakadilan sejarah tidak hanya kepada Trunojoyo, tetapi juga Arya Wiraraja. “Coba kita renungkan, apakah mungkin Raden Wijaya dengan 12 pengikut bisa menang melawan Raja Gelang-gelang sekaligus pasukan Mongol jika tak di bantu Arya Wiraraja ? Tetapi sejarah mencantumkan Wiraraja hanya dalam beberapa kalimat,” ujarnya.
“Saya ingin menulis Madura dalam bingkai sejarah yang memihak, adil, dan berempati kepada Madura. Munculnya stereotip negative itu salah satunya karena penulisan sejarah secara gegabah,” kata Edhi, salah seorang penyusun buku Sejarah Sumenep dan Sejarah Hari Jadi Sumenep.
sangat menarik msh ada orang yg peduli dg budaya bangsanya di tengah2 keengganan putra putri kita utk mempelajari..memahami budaya madura…..smg dbr kesehatan pak edhy…saya moh yusuf aslibangkalan yg sdh 24 thn merantau ke samarinda….ingin menulis sejarah sampainya org madura di samarinda yg konon dimulai pada tahun 1908 dg 4 unit perahu dari desa kramat..bangkalaan…yg skrg sdh mencapai generasi ke 3….perlu bmbingan….
Kami salut niat anda berkeinginan menulis sejarah orang Madura di Samarinda. Kami dukung sepenuhnya, kami akan bantu bila diperlukan. Kami yakin bila niat anda terealisasi pasti akan menambah khasanah sejarah budaya Madura di tanah rantau. Selamat dan sukses