Hatinya Getir
Edhi Setiawan lahir di Sumenep, kota ujung timur pulau Madura. Leluhurnya berasal dari Hokkian, China, yang datang ke Madura sekitar abad ke-17 pada masa peralihan dinasti Ming ke Ching. Ia generasi ke-8. Ia yakin berdarah campuran karena yang datang ke Madura adalah lelaki, lalu menikah dengan perempuan local.
Ia anak ke-3 pasangan Gunawan dan Juariyah. Selulus SD dan SMP Katolik Sumenep, ia melanjutkan sekolah ke SMA St Luis, Surabaya, Jawa Timur, mengambil jurusan Budaya.
Lalu, ia belajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Sesuai kehendak orang tuanya. “Saya sebenarnya ingin mengambil jurusan sejarah, tetapi orang tua ingin saya seperti kakak saya, menjadi hakim.”
Menjadi aktivis di senat mahasiswa membuat pergaulannya luas. Dari pergaulan pula ia semakin paham adanya persepsi yang salah dari orang luar terhadap Masyarakat Madura. Madura seolah identik dengan carok, kekerasan, kebodohan, dan kemiskinan. Ini membuat hatinya getir.
Persepsi itu diperkuat studi kalangan ahli sosiologi atau antropologi yang mempelajari masyarakat Madura dari kehidupan atau perilaku orang Madura di luar pulau Madura.
“Orang Madura di perantauan umumnya bergerak di sektor fisik, seperti pelabuhan, perdagangan rongsokan, pedagang kaki lima, dan juru parkir. Mereka harus berhadapan dengan komunitas lain. Maka, orang Madura harus menunjukkan kejagoannya agar di segani. Kondisi spikologis perantauan ini tak diperhitungkan kalangan ahli, justru di pakai menggeneralisasi watak dan perilaku orang Madura,” katanya.
Tak jarang masyarakat Madura dijadikan bahan guyonan, olok-olok. Keluguan dan kesahajaan orang Madura dipelesetkan menjadi kekonyolan.
Edhi mengakui adanya catatan kelabu sejarah Madura, yaitu saat sebagian warga Madura menjadi legiun khusus barisan dalam jajaran militer kolonial Belanda. Ini semacam pasukan Gurkha bagi militer Inggris. Barisan dikirim untuk melawan Tengku Umar di Aceh, Imam Bonjol di Sumatera Barat, dan Diponegoro di Jawa. Keberadaan Barisan menjadi luka sejarah bagi komunitas lain.
Ia juga melihat, tak sedikit kalangan terdidik asal Madura mengaburkan identitas kemaduraannya karena adanya penetrasi persepsi negatif itu. Mereka malu menjadi orang Madura. Kondisi ini makin mengokohkan tekatnya untuk ”mencerahkan” Madura.
sangat menarik msh ada orang yg peduli dg budaya bangsanya di tengah2 keengganan putra putri kita utk mempelajari..memahami budaya madura…..smg dbr kesehatan pak edhy…saya moh yusuf aslibangkalan yg sdh 24 thn merantau ke samarinda….ingin menulis sejarah sampainya org madura di samarinda yg konon dimulai pada tahun 1908 dg 4 unit perahu dari desa kramat..bangkalaan…yg skrg sdh mencapai generasi ke 3….perlu bmbingan….
Kami salut niat anda berkeinginan menulis sejarah orang Madura di Samarinda. Kami dukung sepenuhnya, kami akan bantu bila diperlukan. Kami yakin bila niat anda terealisasi pasti akan menambah khasanah sejarah budaya Madura di tanah rantau. Selamat dan sukses