Pada tahun 2005 kemarin, Ben Muhalif, seorang peneliti pada majalah Nationwide yang berkantor di Jakarta, menyelusuri Pulau Madura untuk mengetahui lebih dekat eksotisme pulau ini. Dia sangat terkagum-kagum pada potensi obyek wisata di Madura sekaligus ke eksotisannya, Hasil dari penelitiannya itu dimuat dalam salah satu majalah vip di Jakarta itu
Dalam tulisannya yang bergaya lugas dan polos, saya baca, di dalamnya peneliti itu memuji-muji Madura. Madura adalah mutiara yang terpendam, katanya. Madura kaya akan obyek wisata berupa pemandangan alam yang bagus dan mengagumkan, di samping kebudayaan yang unik.
Di antara banyak kebudayaan Madura yang menonjol dan layak jual di ranah international adalah Kerapan Sapi, Sapeh Sonok, Nyaketen, dan lain-lain. Sedangkan panorama alam madura yang indah dapat kita temui di Pantai Lombang, Badur, Slopeng dan lain sebagainya. Ditambah lagi obyek wisata yang berupa goa bersejarah, keraton, asta atau makam para penyebar agama Islam dan wali, keajaiban alam seperti Aeng Panas, Api Tak Kunjung Padam, dan masih banyak yang lain.
Bahkan, Liek Mansur Noer mengatakan bahwa Madura adalah serambi Madinah. Term Madinah ini diasosiasikan dengan suatu komonitas kota yang memiliki peradaban tinggi. Seperti Madinatun Nabi, sebuah kota yang memiliki peradaban agung yang didasarkan pada sendi-sendi agama. Demikianlah Madura. Sehingga tidak heran ketika Madura menjadi Pulau Seribu Pesantren. Oleh karenanya masyarakatnya sangat religius.
Apa yang diungkap Ben benar adanya. Namun, apa yang dilihat Ben itu hanyalah bentuk luar dari Madura. Sedangkan bagian dalamnya, Madura sesungguhnya bergelimang nestapa yang sangat dalam. Dia tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi dalam relung kebudayaan Madura yang kata orang sangat eksotis itu. Budaya yang membawa nestapa itu merupakan realitas hakiki yang selalu berkelindan di balik eksotisme budaya Madura yang indah itu