Sebagaimana teori dramaturgi Goffman yang pernah dikutip Putra (Kompas, 31/12/2005), terdapat dua hal dalam realitas panggung, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian yang hakiki adalah bagian belakang. Bagian depan hanyalah tempat pertunjukan untuk membahagiakan penonton belaka. Begitu juga halnya budaya setiap masyarakat, tak terkecuali budaya masyarakat Madura.
Bertolak pada teori Goffman ini, realitas budaya Madura dan keadaan alamnya yang sangat potensial sebagai obyek wisata merupakan realitas panggung bagian depan. Ini bisa terlihat dan dirasakan oleh seorang peneliti yang menelisik pulau garam ini dalam waktu tiga-empat hari dan hal ini juga dapat dilihat dari balik kaca penginapan di mana sang peneliti menghabiskan waktu untuk beristirahat.
Tapi akan beda halnya jika kita ingin mengetahui panggung budaya bagian belakang yang hakiki itu. Untuk mengetahui ini tak cukup hanya dengan waktu satu-lima hari. Jika Benmau berlama-lama di Madura, maka ia akan menemukan panggung bagian yang nyata itu
Sedikitnya ada dua (yang dapat diungkap dalam tulisan ini) nestapa di Madura. Keduanya dapat diketahui melalui narasi non fiktif sebagai berikut : pertama, kisah Fitria. Dia adalah seorang gadis cerdas yang dilahirkan di sebuah kampung pedalaman Madura. Tingkat pendidikannya sampai SLTA. Pada usia 18 tahun sebenarnya dia masih ingin meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi (PT), namun ia tidak dapat menolak desakan orang tuanya untuk menerima lamaran seorang pemuda yang dicintainya. Kalau dia menolak, menurut orang tuanya, berarti ia telah tidak berbakti lagi kepada mereka. Lagi pula, seorang gadis yang telah mencapai usia 17 ahun ke atas masih belum memiliki tunangan dan atau menikah maka para tetangga di sekitarnya akan mengoloknya sebagai perawan tua yang tak laku-laku
Dengan persepsi umum sebuah komunitas masyarakat tersebut, sebuah keluarga akan malu jika punya anak gadis yang telah “cukup umur” masih belum menikah atau paling tidak bertunangan.