Latief Wiyata
Geliat jembatan Suramadu yang membentang sepanjang 5.48 Km di atas selat Madura kian terasa. Selain makin padatnya arus lalu lintas di ruas jalan utama Madura, pedagang “dadakan” yang memanfaatkan area di tepi akses keluar/masuk Madura makin memanjang. Sepintas suasana itu seolah mencerminkan kemeriahan sebuah pesta rakyat Madura, misalnya ketika setiap kali digelar lomba kerapan sapi atau acara-acara tradisional lainnya. Barangkali memang demikian adanya, orang Madura kini sedang berpesta pora menyambut dan menikmati keberadaan jembatan terpanjang di Indonesia itu.
Kemeriahan itu makin terasa ketika jalur utama yang membentang dari wilayah barat ke arah timur kini sudah terasa sesak oleh banyaknya kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ironis sekali, kepadatan arus lalu lintas yang amat pesat sama sekali tidak bisa diikuti oleh perluasan jalan. Kalaupun tampak ada upaya pelebaran jalan di beberapa ruas namun itu tidak lebih dari sekadar upaya agar jalur di ruas itu tidak terlalu padat.Padahal jenis kendaraan yang keluar masuk Madura dari berbagai jenis dan ukuran, mulai dari sepeda motor sampai kendaraan-kendaraan dengan kapasitas besar seperti bus dan truk trailer.
Itu sebabnya, peristiwa kecelakaan lalu lintas yang tidak jarang merenggut nyawa, menjadi berita biasa di media massa lokal. Jatuhnya korban-korban lalu lintas ini sudah seharusnya segera disikapi dengan tindakan-tindakan antisipatif. Namun, pertanyaannya adakah yang merasa terpanggil untuk bertanggung jawab atas semuanya itu?Geliat Suramadu ternyata berimbas pula pada aspek kultural. Sebagaimana telah diutarakan kini jalur-jalur lalu lintas utama di pulau ini semakin padat oleh hilir mudiknya bus-bus pariwisata yang berasal dari berbagai daerah di Jawa.