Bus-bus itu beriring-iringan mengangkut para peziarah yang akan menuju tempat-tempat yang selama ini dianggap keramat, seperti pasarean raja-raja Sumenep di kawasan Asta Tinggi dan makam ulama terkenal yang ada di pulau Talango, sebuah pulau kecil yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Pelabuhan Kalianget dan dapat ditempuh hanya 10 menit dengan perahu bermotor.Bukan hanya di wilayah Kabupaten Sumenep, tempat-tempat keramat di tiga wilayah kabupaten lain juga menjadi tujuan mereka. Selain itu, tujuan peziarah juga mengunjungi (atau nyekar) kepada kiyai-kiyai kharismatik Madura yang tersebar mulai dari wilayah barat di Kabupaten Bangkalan hingga ke wilayah Kabupaten Sumenep di kawasan timur Madura.
Akhir-akhir ini menjelang tibanya bulan suci Ramadhan kunjungan para peziah kian meningkat. Sepertinya selama 24 jam bus-bus pariwisata tiada henti berlalu lalang.Secara kultural kehadiran para peziarah ini memberikan warna yang semakin tegas bahwa Madura memang merupakan “pulau religius” yang penduduknya hampir semuanya sebagai penganut agama Islam. Bila sebelumnya ada juga peziarah yang datang, dengan beroperasinya Suramadu kemudahan akses menuju Madura menjadi motivasi kuat bagi peziarah untuk datang ke pulau ini. Dalam konteks ini tujuan intrinsik yang ikut menjadi pendorong tentu saja keinginan mereka untuk dapat menikmati menyebrang di atas jembatan terpanjang di Indonesia.
Dampak kultural lainnnya, ikatan kekerabatan orang Madura cenderung makin menguat. Mobilitas orang Madura baik yang ada di pulau ini maupun mereka yang khususnya yang tersebar di berbagai daerah di Jawa semakin tinggi. Kunjungan-kunjungan antarkerabat menjadi kian sering dilakukan yang semuanya menambah eratnya ikatan kekeluargaan di antara mereka.
Dorongan untuk melakukan ini sudah menjadi kebutuhan kultural bagi orang Madura. Ungkapan “mapolong tolang” (berusaha mengumpulkan “tulang-belulang” yang selama ini tercerai berai akibat dari berbagai alasan) kini seakan menemukan penyaluran. Tidak sedikit keluarga yang selama ini “kehilangan” sanak keluarga (matè obhur) kini terajut kembali. Bahkan suatu keluarga yang selama ini terpisah dengan salah seorang anaknya selama hampir tiga dasawarsa karena bekerja dan berdomisili di Kalimatan Tengah kini mereka sudah dapat bertemu dan berkumpul kembali.