Bupati Ronggo Supranolo adalah keturunan Cina yang beragama Islam, termasuk keluarga dinasti Kesepuhan (Surabaya) yang terkenal sebagai alim ulama yang disegani. Karisma itu dipergunakan oleh Bupati Ronggo Supranolo untuk menyebarkan agama Islam di Besuki, sebab di sana masih banyak penduduk yang kehidupannya masih bersifat animistis. Hal itu mengundang simpati masyarakat sehingga beliau dikenal dengan sebutan Kiai Ronggo Supranolo. Berkat kepemimpinan Kiai Ronggo Supranolo, Besuki berhasil menjadi kota pelabuhan yang cukup ramai sehingga Pelabuhan Panarukan menjadi sepi karena kalah saingan.
Tahun 1773, Kapten Bwee menggantikan mertuanya menjadi Bupati-Ronggo Besuki dengan gelar Kiai Ronggo Suprawito. Ke- dudukan itu tak lama dijabatnya karena ia wafat pada 1776. Sebagai penggantinya ditunjuk Babah Panjunan namun jabatan itu tak lama dipangkunya karena beliau dipromosikan menjabat Bupati-Tumenggung di Bangil. Sebagai penggantinya, VOC menunjuk saudara sepupunya yang bernama Babah Midun menjadi Bupati Besuki dengan gelar Kiai Suroadikusumo.
Untuk mendapatkan simpati masyarakat, Kiai Suroadikusumo mengangkat mantan Demang Besuki yaitu Kiai Demang Alus atau yang juga dikenal sebagai Demang Wirodipuro untuk menjadi Patih Besuki. Sejak saat itulah ia mendapat sebutan Patih Alus Besuki di masyarakat Besuki.
Pada suatu ketika Bupad Ronggo-Besuki Kiai Suroadikusumo membutuhkan seorang calon pegawai atau kader yang kelak akan dididik menjadi ahli pemerintahan. Sudah barang tentu si calon hendaklah seorang yang cerdas, tampan, dan mampu menguasai berbagai masalah kenegaraan dan ilmu pengetahuan, serta hal-hal yang berkenaan dengan ilmu administrasi.
Kiai Patih Alus yang sangat mengetahui kualitas dan pribadi Bagus Assrah, lalu mengusulkannya sebagai calon. Ternyata Bagus Assrah diterima, selanjutnya ia menjadi pegawai di Kabupaten Besuki.
Karena Kiai Suroadikusumo dengan istrinya Nyi Rambitan tidak dikaruniai putra, maka Bagus Assrah diambil sebagai anak angkat- nya. Nyi Rambitan menerimanya dengan senang hati, lalu mendidik dan memperlakukannya sebagai anak sendiri. Kasih sayang Kiai Ronggo Besuki bersama istrinya kepada Bagus Assrah makin men- dalam.
Ada beberapa hal yang menjadikan kedua orang tua angkatnya itu semakin tertarik kepada Bagus Assrah. Selain karena baktinya secara tulus ikhlas kepada kedua orang tua, juga karena perangai dan sikap ramah yang membuat setiap orang simpatik kepadanya. Di samping itu Kiai Ronggo telah merasakan firasat yang menun- jukkan kebesaran pada anak itu yaitu berupa sinar cahaya gaib yang memancar dari tubuhnya di kala ia tidur pada malam hari.
Setelah Bagus Assrah lulus dalam mengikuti pelajaran ketata- negaraan, ia kemudian diberi tugas untuk menarik upeti (pajak) serta ikut menangani dan memecahkan berbagai persoalan umum dalam bidang pemerintahan. Semuanya dapat dia dikerjakan dengan baik. Dengan keberhasilannya itu maka Bagus Assrah diangkat menjadi Mantri Anom dengan nama Abiseka (gelar) Mas Astrotruno.
Karena dorongan yang kuat untuk memperoleh anak sendiri, maka atas pertimbangan keluarga (Nyi Rambitan) dan terutama Kiai Patih Alus, pada 1768 Kiai Ronggo Besuki Suroadikusumo melamar putri Panembahan Somala, Bupati Sumenep, untuk dijadikan istrinya.
Perkawinannya dengan putri Panembahan Somala bukan hanya bertujuan memperoleh keturunan, tetapi juga untuk menaikkan kewibawaan dalam pemerintahan, sesuai dengan petunjuk Ki Patih Penarukan Ki Surodiwiryo, karena istri keduanya itu masih cucu seorang alim ulama besar yang tersohor di Sumenep yaitu Bindara Sa’od, ayah Penambahan Somala. Selain itu ia juga masih keturunan Pangeran Katandur, seorang alim ulama besar pada waktu itu.
Ternyata dalam perkawinannya yang kedua ini pun Kiai Ronggo- adikusumo tidak mendapatkan keturunan sebagaimana yang di- idamkan selama ini. Oleh karena itu Nyi Suroadikusumo lalu me- ngambil anak angkat dari keponakannya sendiri yang bernama Raden Ario Bambang Sutikno. Kedua anak angkat Kiai Suroadikusumo tersebut kelak menjadi tokoh sejarah. Bagus Assrah menjadi tokoh sejarah Bondowoso dan Raden Ario Bambang Sutikno yang kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Prawirodiningrat menjadi tokoh sejarah di Besuki-Panarukan.
Pada 1795 Patih Puger Raden Tumenggung Prawirodiningrat wafat. Kemudian VOC mengangkat Kiai Ronggo Suroadikusumo menjadi Bupati Tumenggung di Puger dengan gelar Kiai Suryo- adikusumo. Namun karena Kiai Patih Alus menolak untuk dipindah- kan ke Puger mengikuti Tumenggung, maka untuk sementara waktu pusat pemerintahannya berada di Besuki. Pada waktu itu Kiai Patih Alus sudah amat tua.
Pada 1801 Kiai Patih Alus wafat. Jenazahnya dikebumikan di Desa Demung Besuki (Kampung Arab) sehingga pusat pemerintahan Tumenggung Puger pun dipindahkan ke tempat yang semestinya yaitu di Puger. Pengangkatannya ke Puger memakai gelar Maulana Kiai Suroadiwikromo.
Menurut rumusan Tim Tujuh Pembuatan Sejarah Bondowoso yang naskahnya disusun pada 28 April 1976 No. HK. 031/474/ 1976, erat kaitannya dengan tahun Candrasengkala 1728 Komariyah Sura Dwi Wiku Grama atau 1801 M. (Sura / 8 ; Dwi / 2; Wiku / 7; Grama / 1 = 1728 Hijriyah).
Tahun 1806, beliau dipindahkan lagi ke Besuki dengan jabatan Adipati. Sebagai penggantinya kemudian diangkatlah Babah Panderman, putra Tumenggung Leder, dengan gelar Kiai Tumenggung Suryoadiningrat. Pada 1813 Kiai Suroadiwikromo wafat dan dimakamkan di Bangil [::]
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Dr. H. Mashoed MSi. Sejarah dan Budaya Bondowoso. Surabaya, Papyrus, 2004. hlm. 55- 61 – (Pusaka Jawa Timuran)