[junkie-alert style=”red”] Oleh: Taufiqurrahman, S.Pd.I
Suara itu berasal dari tongkat kayu yang dipukulkan pada karung untuk merontokkan biji jagung di dalamnya. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh ibu-ibu di malam hari karena siang harinya bekerja di sawah. Mengapa kaum ibu yang biasa melakukannya? Saya tidak tahu jawabannya namun begitulah keadaannya. Ibu-ibu selalu mengalah, melakukan pekerjaan yang mestinya dilakukan oleh para lelaki. Secara fisik laki-laki memang lebih kuat dari perempuan, tapi merontokkan jagung, menimba air di sumur kemudian memikulnya untuk di isikan ke dalam gentong di dapur kerap dilakukan oleh Ibu-ibu. [/junkie-alert]
Tanaman jagung merupakan sumber perekonomian utama penduduk Madura selain tembakau. Tanah yang gersang cocok untuk dua tanaman ini. Maka tidak heran jika jagung menjadi makanan pokok penduduk di sini. Hanya sebagian kecil daerah sawah yang bisa ditanami padi.
Jagung mulai ditanam para petani pada awal musim penghujan. Maklum tanah di sini tadah hujan. Bercocok tanam bila musim penghujan saja. Bila setelah jagung tumbuh hujan tak kunjung datang para petani dilanda kegelisahan akan matinya tanaman mereka. Bersyukur hujan selalu cukup untuk menyiram jagung hingga menguning dan siap dipanen.
Jagung yang telah dipanen dikeringkan dengan kelobotnya di halaman rumah yang luas. Setelah benar-bernar kering kemudian disimpan di dalam jurung2. Inilah kebiasaan masyarakat Madura yang berbeda dengan masyarakat Jawa. Hasil panen jagung atau padi tidak kemudian dijual melainkan disimpan untuk dimakan selama setahun. Diambil sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan sehingga mereka tidak terlalu khawatir gejolak harga beras karena mereka menyimpannya.
Biji jagung Madura lebih kecil bila dibandingkan dengan jagung varietas lainnya. Warnanya merahnya lebih tua. Bagian putihnya yang menjadi tepung lebih sedikit sehingga lebih tahan kutu