Tahun 1810 Masehi, sosok sepuh yang memiliki semangat juang tinggi itu naik pitam saat bangsa asing yang tak menunjukkan tatakrama menginjakkan kaki di bumi Songennep. Lelaki berwibawa dengan penyakit asma berat yang disandangnya itu memimpin langsung sebuah serangan yang ditujukan pada para serdadu Inggris yang mendarat di pelabuhan Madura timur, tepatnya di pantai Saroka.
Sebelumnya, sosok sepuh pemilik nama Kiai Angabei atau Ngabei Mangundireja itu telah berkirim surat pada junjungannya, Kangjeng Panembahan Natakusuma I alias Panembahan Sumolo, penguasa Sumenep yang tengah melawat ke negeri Semarang. Surat yang berisi bahwa negeri Songennep kedatangan musuh, dan sang Kiai yang merupakan Patih atau wakil raja kala itu, memohon ijin untuk memimpin sementara jika sampai terjadi bentrok fisik.
Adu fisik benar-benar terjadi. Hal itu dimulai dengan serangan meriam tentara Inggris yang ditujukan pada bangunan Asta Tinggi. “Orang-orang Britis itu mengira Asta Tinggi ialah benteng keraton. Sehingga moncong meriam ditujukan ke sana. Namun hanya mengenai atap atau cungkup. Itupun konon banyak yang meleset,” kata R. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep, pada Media Center.
Serangan itu dibalas oleh Patih Kiai Angabei Mangundireja dengan mengirim sejumlah pasukan barisan yang dipimpinnya langsung beserta seorang putranya. Pertempuran dahsyat pun meletus. Hanya saja perang tak seimbang, baik dari jumlah pasukan Sumenep sekaligus perlengkapan perang yang kalah banyak dan modern dibanding milik pasukan Inggris.
Meski begitu, orang-orang Sumenep tak gentar dan tak takut mati. Mereka tetap bertahan meski banyak pasukannya yang gugur. Hingga puncaknya, Sumenep harus membayar mahal dengan nyawa putra terbaiknya. Sang Patih yang ksatria itu gugur beserta putranya, di kawasan bernama Loji.
Gugurnya sang patih hampir bersamaan dengan datangnya Panembahan Sumolo, yang langsung bertolak dari Semarang pasca menerima kiriman surat. Sayang, sesampainya di Saroka, sang Panembahan yang dikenal keras itu datang terlambat. Putra Bindara Saut yang dikenal alim dan pilih tanding itu sudah siap dengan sebilah pedang di tangannya, sementara pasukan Inggris buru-buru angkat kaki.